Kamis, 29 Agustus 2013

Revolusi fISIK (1945-1950)

Zaman revolusi fisik (1945-1950) merupakan suatu zaman yang paling cemerlang dalam sejarah Indonesia, hak-hak Indonesia akan kemerdekaan ditunjukkan oleh pengorbanan-pengorbanan yang luar biasa oleh bangsa Indonesia. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan suatu kisah sentral dalam sejarah Indonesia melainkan merupakan suatu unsur yang kuat di dalam persepsi bangsa Indonesia itu sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru, untuk persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing, dan untuk suatu tatanan sosial yang lebih adil akhirnya membuahkan hasil pada masa-masa sesudah perang dunia II. Untuk pertama kalinya di dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia segala sesuatu yang serba paksaan yang berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Tradisi nasional yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia berjuang bahu-membahu selama revolusi hanya merupakan sedikit dasar sejarah (Ricklefs, 1991: 317). Kedaulatan dan persatuan bangsa masih harus terus diuji karena masih adanya ancaman dari luar negeri seperti dari Belanda yang mengandalkan tentara NICA. Begitu pula dari dalam negeri belum sepenuhnya stabil karena adanya ancaman keamanan dimana-mana. Mengenai orang-orang Indonesia yang mendukung revolusi, maka ditarik perbedaan-perbedaan antara kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan-kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi dan mereka yang menentangnya, antara generasi muda dan generasi tua, antara golongan kiri dan golongan kanan, antara kekuatan-kekuatan islam dan kekuatan-kekkuatan sekuler, dan sebagainya. Hal ini merupakan suatu gambaran mengenai suatu masa ketika perpecahan-perpecahan yang menimpa bangsa Indonesia berbentuk beraneka ragam dan terus-menerus berubah. Sedangkan, bagi para pemimpin revolusi Indonesia, tujuannya adalah melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan nasional yang telah dimulai empat dasawarsa sebelumnya. KONDISI SOSIAL-BUDAYA PADA MASA REVOLUSI FISIK (1945-1950) A. Kondisi masyarakat pada Awal Revolusi fisik Laksamana Patterson (komandan garis belakang Skuadron Tempur kelima Inggris) pada tanggal 29 september 1945 mengumumkan bahwa pasukan-pasukan sekutu datang untuk melindungi rakyat dan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban hingga pemerintah Hindia Belanda yang berwenang berfungsi kembali. Pada hari yang sama, letnan jenderal Sir Philip Christison (panglima sekutu untuk Hindia Belanda) mengumumkan bahwa pasukan jepang di jawa sementara harus dipakai untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Pengumuman ini segera diikuti oleh pendaratan kontinen-kontinen kecil pasukan Belanda dibawah perlindungan Inggris (Kahin, 1995: 180). Aktivitas pasukan Ingris yang terus mendarat dibawah perlindungan inggris dan pengumuman-pengumuman inggris yang kurang tegas, secara bersama-sama menunjukkan kepada kebanyakan orang Indonesia, bahwa pernyataan tegas kemerdekaan mereka sedang ditantang dan ini memancing reaksi mereka yang tajam. Komando sekutu memerintahkan para komandan jepang untuk menyerang dan merebut kembali kota-kota yang sudah dikuasai orang Indonesia, seperti Bandung. Dipakainya pasukan jepang oleh sekutu untuk melawan republic selanjutnya mendorong orang Indonesia untuk melawan Inggris sekaligus Belanda, dan memperkuat kecurigaan mereka bahwa Indonesia ingin dikembalikan kepada status penjajahan (kahin, 1995: 182). Meskipun Inggris dilengkapi dengan pesawat-pesawat terbang dan meriam dalam pertempuran yang lama dan pahit serta akhirnya menguasai kota, perang itu tetap dan masih dianggap suatu kemenangan oleh orang Indonesia, karena pertempuran Surabaya adalah titik balik dalam perjuangan kemerdekaan mereka. Ini merupakan suatu demonstrasi di hadapan inggris tentang kekuatan berperang dan kesediaan mengorbankan jiwa raga yang ada di balik gerakan yang sedang ditentang inggris itu (Kahin, 1995: 182). Pertempuran di Surabaya membuka jalan bagi diadakannya perundingan-perundingan diplomatik selama tahun 1946 dan awal tahun 1947 antara Belanda dan Indonesia. Sebenarnya pada masa ini adalah saat ketiga kalinya Belanda bermaksud menaklukan Indonesia. Usaha yang pertama, pada abad XVII dan XVIII, telah berakhir dengan penarikan mundur di pihak mereka dalam menghadapi perlawanan bangsa Indonesia serta ketidakcakapan mereka sendiri, dan akhirnya dengan dikalahkannya mereka oleh pihak Inggris. Yang kedua, yaitu pada abad XIX dan awal abad abad XX, telah berakhir dengan dikalahkannya mereka oleh pihak jepang. Dan masa ini adalah percobaan untuk ketiga kalinya, pada masa ini masyarakat lebih bersatu dari sebelumnya. Akan tetapi, sistem perhubungan yang buruk, perpecahan-perpecahan internal, lemahnya kepemimpinan pusat, dan perbedaan kesukuan mengandung arti bahwa sebenarnya revolusi tersebut merupakan suatu kejadian yang terpotong-potong. B. Kondisi Sosial Budaya pada Masa Revolusi Fisik Dengan mulai tibanya pihak sekutu guna menerima penyerahan jepang, maka semakin meningkatlah ketegangan-ketegangan di jawa dan sumatera serta mendorong orang-orang yang sepenuh hati mendukung Republik untuk berbalik melawan. Atas nama ‘kedaulatan rakyat’ para pemuda revolusioner mengintimidasi, menculik, dan kadang-kadang membunuh para pejabat pemerintahan, kepala-kepala desa, dan anggota-anggota polisi yang kesetiaannya disangsikan, atau yang dituduh melakukan korupsi, pencatutan, atau penindasan selama pendudukan jepang. Dalam kekacauan ini tindakan-tindakan atas nama kedaulatan kadang-kadang sulit dibedakan dari tindakan-tindakan perampokan, perampasan, pemerasan, dan pembalasan dendam semata. “Semangat merdeka menyala-nyala, sehingga menyebabkan mereka kurang dapat mengendalikan diri.” (Moedjanto, 1993:100). Surabaya menjadi ajang pertempuran yang paling hebat selama revolusi, sehingga menjadi lambang perlawanan nasional. Soetomo, orang yang lebih dikenal dengan Bung Tomo meggunakan radio setempat untuk menimbulkan suasana revolusi yang fanatik ke seluruh penjuru kota. Di kota yang sedang bergolak ini kira-kira 6.000 pasukan inggris yang terdiri dari serdadu-serdadu india tiba pada tanggal 2 Oktober untuk mengungsikan para tawanan. Sekitar 2.000 TKR yang baru saja terbentuk dan sebanyak kurang lebih 120.000 orang dari badan-badan perjuangan siap untuk membantai prajurit-prajurit India tersebut, meskipun persenjataan mereka sangat tidak memadai. Pada tanggal 30 oktober diadakanlah gencatan senjata. Akan tetapi pertempuran meletus lagi dan panglima pasukan inggris setempat, brigadier jenderal A.W.S. Mallaby terbunuh. Pada tanggal 10 November subuh, pasukan-pasukan inggris memulai suatu aksi pembersihan berdarah sebagai hukuman di seluruh pelosok kota di bawah lindungan pengeboman dari udara dan laut, dalam menghadapi perlawanan Indonesia yang fanatik. Ribuan rakyat Indonesia gugur dan ribuan lainnya meninggalkan ota yang hancur tersebut. Pihak Republik kehilangan banyak tenaga manusia dan senjata dalam pertempuran Surabaya, tetapi perlawanan mereka yang bersifat pengorbanan tersebut telah menciptakan suatu lambang dan pekik persatuan demi revolusi. Banyak orang Belanda telah benar-benar merasa yakin bahwa Republik hanya mewakili segerombolan kolaborator yang tidak mendapat dukungan rakyat. Tak seorangpun pengamat yang serius dapat mempertahankan anggapan seperti itu. Kepercayaan kekebalan, ramalan-ramalan dan tradisi-tradisi pribumi lain, mendalamnya ketegangan-ketegangan sosial pribumi atau daya tarik kekerasan bagi rakyat Indonesia, membuat gagasan mengenai suatu revolusi sosialis internasional yang akan bersifat demokratis, anti bangsawan, dan anti fasis sulit diterapkan di Indonesia. Keadaan di dalam Republik di Jawa pada tahun 1948 sangat gawat. Kekuasaan republik secara efektif terdesak ke wilayah pedalaman Jawa Tengah yang sangat padat peduduknya dan kekurangan beras, dimana penderitaan semakin meningkat sebagai akibat blokade belanda dan masuknya sekitar enam juta pengungsi dan tentara republik. Pemerintah Republik mencetak lebih banyak uang lagi untuk menutup biaya sehingga inflasi pun melonjak. Akan tetapi, tindakan ini bukannya tanpa akibat-akibat yang menguntungkan. Dengan meningkatnya inflasi dan harga beras, maka meningkat pula penghasilan para petani dan sebagian besar hutang mereka dapat dilunasi, sementara penghasilan para pekerja merosot. Pada tanggal 29 Agustus 1947 secara sepihak mereka memproklamirkan apa yang dinamakan “garis van mook”. Menurut garis Van Mook, republik itu dibatasi hingga lebih sedikit dari sepertiga wilayah jawa – wilayah tengah bagian timur (dikurangi pelabuhan-pelabuhan parairan laut-dalam) dan ujung yang paling utara dari pulau itu. Separuh Madura, dan bagian paling luas tetapi paling miskin dari Sumatera. Garis van Mook menyingkirkan Republik itu dari wilayah-wilayah pertanian paling subur di Jawa maupun sumatera. Akan tetapi khusus di Jawa, situasinya sangat gawat. Wilayah yang tetap dikuasai Republik merupakan wilayah yang kekurangan pangan dengan produksi beras perkapita diperkirakan oleh pemerintah hanya 62,6 kuintal dibandingkan dengan 85,9 kuintal di daerah-daerah yang dikuasai Belanda. Di samping itu, daerah yang tersisa untuk republic ini didiami penduduk sejumlah 23 juta orang yang kemudian ditambah lebih dari 700 ribu pengungsi dari daerah-daerah yang dikuasai Belanda (Kahin, 1995: 278). Pola makan yang berubah, pola hidup yang berubah serta tekanan-tekanan sosial ekonomi yang menghimpit menyebabkan perubahan mendasar dalam aspek-aspek fisik maupun psikologi masyarakat. Dalam aspek fisik nyata terlihat kemiskinan endemis yang makin meluas, kesehatan yang merosot serta angka kematian yang tinggi. Dalam apek nonfisik, terlihat kemiskinan mentalitas akibat rongrongan dan ketakutan yang tidak proporsional. Kegelisahan komunal dan ketidaktentraman cultural yang makin meningkat frekuensinya. Dapat dikatakan bahwa keadaan petani dan masyarakat pedesaan di jawa berada dalam tingkat yang sangat buruk. Oleh Scott disebut sebagai “subsistence level”, yaitu tingkat pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Pemikiran yang digunakan adalah bagaimana mereka dapat sekedar bertahan hidup, dalam situasi yang makin memburuk dan suasana yang makin tak menentu kapan akan berakhir (Cahyo Budi, 1995: 192-193). Di sumatera, terjadi revolusi-revolusi sosial yang keras dan menentang elite-elite bangsawan. Di aceh prmusuhan sengit antara para pemimpin agama (ulama) dan para bangsawan birokrat (uleebalang) mengakibatkan timbulnya suatu perubahan yang permanen di tingkat elite. Banyak uleebalang yang mengharapkan kembalinya Belanda, dan puncaknya meletuslah perang saudara. Para uleebalang gagal untuk melaksanakan suatu perlawanan terpadu terhadap kekuatan-kekuatan pro-republik yang dipimpin oleh para ulama. Aceh dengan ideology islam, menjadi wilayah yang paling stabil di Indonesia selama masa revolusi. Di sumatera timur, kelompok-kelompok bersenjata yang sebagian besar terdiri dari orang-orang batak dan dipimpin oleh kaum kiri, menyerang raja-raja batak pada bulan maret 1946. Penangkapan-penangkapan dan perampokan-perampokan terhadap para raja segera berubah menjadi pembantaian yang mengakibatkan tewasnya beratus-ratus bangsawan sumatera Timur, diantaranya adalah Amir Hamzah. Para politisi republik setempat serta satuan-satuan tentara setempat menentang tindak kekerasan ini, dan pada akhir bulan April para pemimpin terkemuka revolusi sosial berdarah ini ditangkap, tetapi sebagian dapat menyelamatkan diri dalam persembunyian. Perpecahan-perpecahan di dalam tubuh/kekuatan-kekuatan revolusi di sumatera timur tampak jelas dengan penindasan terhadap revolusi sosial tersebut. Semetara itu, perpecahan di kalangan elite revolusi di jawa menjadi semakin tegang ketika partai-partai politik terbentuk. Partai-partai yang penting pada masa revolusi diantaranya: PKI (Partai komunis Indonesia), Pesindo (pemuda sosialis indonesia), Masyumi, dan PNI (partai nasional Indonesia). Semangat revolusi juga terlihat di dalam kesusastraan dan kesenian. Surat-surat kabar dan majalah-majalah republik bermunculan di banyak daerah, terutama di Jakarta, Yogyakarta dan Surakarta. Keseluruhan suatu generasi satrawan pada umumnya dinamakan angkatan 45, yaitu orang-orang yang daya kreatifnya memuncak pada zaman revolusi. C. Berakhirnya Revolusi Fisik Dengan pengakuan kedaulatan tanggal 27 desember 1949, maka berakhirlah masa revolusi bersenjata di Indonesia dan secara de jure pihak Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk RIS. Namun atas kesepakatan rakyat Indonesia tanggal 17 agustus 1950, RIS dibubarkan dan dibentuk NKRI. Selanjutnya pada tanggal 28 september 1950, Indonesia di terima menjadi anggota PBB yang ke-60. Hal ini berarti bahwa kemerdekaan Indonesia secara resmi telah di akui oleh dunia internasional. PENUTUP Masa-masa revolusi fisik merupakan masa yang cukup berat bagi bangsa Indonesia karena disamping harus berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diraihnya harus juga berjuang mewujudkan negara kesatuan RI. Wilayah Indonesia telah dipecah-pecah oleh Belanda. Oleh karena itu, bangsa Indonesia berjuang untuk merebut kembali wilayah yang menjadi miliknya melalui perjuangan diplomasi maupun angkat senjata. Akhirnya usaha Belanda untuk menguasai kembali Indonesia gagal karena ada perlawanan bangsa Indonesia dan dukungan Negara-negara yang bersimpati terutama Amerika Serikat. Bagaimanapun juga kemenangan pihak Belanda yang hampir tercapai ini, banyak menolong untuk menggalang kebhinekaan bangsa Indonesia menjadi sebuah republik kesatuan yang bersepakat terhadap apa yang ditentangnya, seandainya bukan selalu menyepakati apa yang disokongnya. Dengan demikian, akhirnya pihak Belanda harus melupakan usahanya membentuk imperium di Indonesia dan meninggalkan suatu warisan persatuan yang sangat berharga.

SYARIF ABDUL HAMID ALKADRIE SANG PERANCANG LAMBANG NEGARA INDONESIA

Perancang lambang negara Indonesia berbentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang kemudian disingkat dengan nama Garuda Pancasila ternyata bernama Syarif Abdul Hamid Alkadrie yang punya gelar Sultan Hamid II putra sulung dari Sultan Syarif Muhammadi Alkadrie dari Kesultanan Pontianak di Kalimantan Barat. Syarif Abdul Hamid Alkadrie lahir di Pontianak pada tanggal 12 Juli 1913 merupakan darah campuran Indonesia – Arab. Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS (Europese Legere School) atau lebih dikenal dengan Sekolah Belanda yang ditujukan untuk mengembangkan dan mendidik serta memperkuat kesadaran nasional dikalangan keturunan Belanda dan kebanyakan Indo-Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya sekolah dasar ini juga anak Indonesia dan Tionghoa walaupun jumlahnya kecil. Dalam sekolah ini diajarkan ilmu alam, dasar-dasar bahasa Perancis, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman, sejarah umum, matematika, pertanian, menggambar, pendidikan jasmani, dan pekerjaan tangan. Penggunaan bahasa asing dalam sekolah ini memang dimaksudkan agar lulusannya bisa memasuki sekolah menengah yang bernama HBS (Hogere Burger School) yang memang diperuntukkan bagi murid-murid Belanda dan golongan baik yang sanggup menyekolahkan anaknya ke ELS (Europese Legere School) kelas satu. Sedangkan Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh ELS (Europese Legere School) di Sukabumi, Pontinak, Yogyakarta, dan Bandung. Setelah menamatkan pendidikan dasar dilanjutkan ke sekolah menengah HBS (Hogere Burger School) di kota Bandung selama satu tahun, dan sekolah THS di Bandung walau tidak sampai tamat. Kemudian melanjutkan ke sekolah militer bernama KMA di kota Breda Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada Kesatuan Tentara Hindia Belanda (Koeningklik Netherland Indie Leger). Pada saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di tahun 1942 Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditahan Jepang 10 Maret 1942 akhirnya dibebaskan kembali ketika Jepang menyerah kepada Sekutu selanjutnya mendapat kenaikan pangkat kolonel. Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan ternyata Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat menjadi Sultan Pontianak pada tanggal 29 Oktober 1945 karena merupakan putra sulung pewaris Kesultanan Pontianak untuk menggantikan ayahandanya kemudian diberi gelar Sultan Hamid II. Ketika Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus sampai dengan 2 September 1949 yang diantara isi penyerahan itu Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat maka Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Negara Zonder Portopolio. Sehubungan dengan jabatan selaku menteri negara tersebut ditugaskan Presiden Soekarno untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. Presiden Soekarno berpesan hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa Indonesia, dasar negara Indonesia, dengan merangkum Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Pada 10 Januari 1950 Presiden Soekarno membentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara dibawah koordinator Menteri Negara Zonder Portopolio Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) dengan susunan panitia teknis sebagai berikut yang diketuai oleh Mohammad Yamin dengan didampingi anggota Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabeu Purbatjaraka. Tugasnya menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Panitia Lencana Negara berhasil memilih dua rancangan terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Dalam proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS) adalah rancangan Sultan Hamid II. Untuk itulah kemudian Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang kemudian disingkat dengan nama Garuda Pancasila. Presiden Soekarno memperkenalkan lambang negara itu untuk pertama kalinya kepada khalayak umum di Hotel Des Indis Jakarta pada 15 Pebruari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara yang diumumkan itu terus diupayakan, kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang awalnya gundul menjadi berjambul, dan bentuk cakar kaki yang mencengkeram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan. Kemudian Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan terakhir ini kemudian menjadi lembaran resmi Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 jo pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 Tokoh dan juga seorang sultan yang berjasa terhadap bangsa Indonesia ini meninggal dunia pada 30 Maret 1978 dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang Kalimantan Barat.