Kamis, 29 Agustus 2013

Revolusi fISIK (1945-1950)

Zaman revolusi fisik (1945-1950) merupakan suatu zaman yang paling cemerlang dalam sejarah Indonesia, hak-hak Indonesia akan kemerdekaan ditunjukkan oleh pengorbanan-pengorbanan yang luar biasa oleh bangsa Indonesia. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan suatu kisah sentral dalam sejarah Indonesia melainkan merupakan suatu unsur yang kuat di dalam persepsi bangsa Indonesia itu sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru, untuk persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing, dan untuk suatu tatanan sosial yang lebih adil akhirnya membuahkan hasil pada masa-masa sesudah perang dunia II. Untuk pertama kalinya di dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia segala sesuatu yang serba paksaan yang berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Tradisi nasional yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia berjuang bahu-membahu selama revolusi hanya merupakan sedikit dasar sejarah (Ricklefs, 1991: 317). Kedaulatan dan persatuan bangsa masih harus terus diuji karena masih adanya ancaman dari luar negeri seperti dari Belanda yang mengandalkan tentara NICA. Begitu pula dari dalam negeri belum sepenuhnya stabil karena adanya ancaman keamanan dimana-mana. Mengenai orang-orang Indonesia yang mendukung revolusi, maka ditarik perbedaan-perbedaan antara kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan-kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi dan mereka yang menentangnya, antara generasi muda dan generasi tua, antara golongan kiri dan golongan kanan, antara kekuatan-kekuatan islam dan kekuatan-kekkuatan sekuler, dan sebagainya. Hal ini merupakan suatu gambaran mengenai suatu masa ketika perpecahan-perpecahan yang menimpa bangsa Indonesia berbentuk beraneka ragam dan terus-menerus berubah. Sedangkan, bagi para pemimpin revolusi Indonesia, tujuannya adalah melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan nasional yang telah dimulai empat dasawarsa sebelumnya. KONDISI SOSIAL-BUDAYA PADA MASA REVOLUSI FISIK (1945-1950) A. Kondisi masyarakat pada Awal Revolusi fisik Laksamana Patterson (komandan garis belakang Skuadron Tempur kelima Inggris) pada tanggal 29 september 1945 mengumumkan bahwa pasukan-pasukan sekutu datang untuk melindungi rakyat dan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban hingga pemerintah Hindia Belanda yang berwenang berfungsi kembali. Pada hari yang sama, letnan jenderal Sir Philip Christison (panglima sekutu untuk Hindia Belanda) mengumumkan bahwa pasukan jepang di jawa sementara harus dipakai untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Pengumuman ini segera diikuti oleh pendaratan kontinen-kontinen kecil pasukan Belanda dibawah perlindungan Inggris (Kahin, 1995: 180). Aktivitas pasukan Ingris yang terus mendarat dibawah perlindungan inggris dan pengumuman-pengumuman inggris yang kurang tegas, secara bersama-sama menunjukkan kepada kebanyakan orang Indonesia, bahwa pernyataan tegas kemerdekaan mereka sedang ditantang dan ini memancing reaksi mereka yang tajam. Komando sekutu memerintahkan para komandan jepang untuk menyerang dan merebut kembali kota-kota yang sudah dikuasai orang Indonesia, seperti Bandung. Dipakainya pasukan jepang oleh sekutu untuk melawan republic selanjutnya mendorong orang Indonesia untuk melawan Inggris sekaligus Belanda, dan memperkuat kecurigaan mereka bahwa Indonesia ingin dikembalikan kepada status penjajahan (kahin, 1995: 182). Meskipun Inggris dilengkapi dengan pesawat-pesawat terbang dan meriam dalam pertempuran yang lama dan pahit serta akhirnya menguasai kota, perang itu tetap dan masih dianggap suatu kemenangan oleh orang Indonesia, karena pertempuran Surabaya adalah titik balik dalam perjuangan kemerdekaan mereka. Ini merupakan suatu demonstrasi di hadapan inggris tentang kekuatan berperang dan kesediaan mengorbankan jiwa raga yang ada di balik gerakan yang sedang ditentang inggris itu (Kahin, 1995: 182). Pertempuran di Surabaya membuka jalan bagi diadakannya perundingan-perundingan diplomatik selama tahun 1946 dan awal tahun 1947 antara Belanda dan Indonesia. Sebenarnya pada masa ini adalah saat ketiga kalinya Belanda bermaksud menaklukan Indonesia. Usaha yang pertama, pada abad XVII dan XVIII, telah berakhir dengan penarikan mundur di pihak mereka dalam menghadapi perlawanan bangsa Indonesia serta ketidakcakapan mereka sendiri, dan akhirnya dengan dikalahkannya mereka oleh pihak Inggris. Yang kedua, yaitu pada abad XIX dan awal abad abad XX, telah berakhir dengan dikalahkannya mereka oleh pihak jepang. Dan masa ini adalah percobaan untuk ketiga kalinya, pada masa ini masyarakat lebih bersatu dari sebelumnya. Akan tetapi, sistem perhubungan yang buruk, perpecahan-perpecahan internal, lemahnya kepemimpinan pusat, dan perbedaan kesukuan mengandung arti bahwa sebenarnya revolusi tersebut merupakan suatu kejadian yang terpotong-potong. B. Kondisi Sosial Budaya pada Masa Revolusi Fisik Dengan mulai tibanya pihak sekutu guna menerima penyerahan jepang, maka semakin meningkatlah ketegangan-ketegangan di jawa dan sumatera serta mendorong orang-orang yang sepenuh hati mendukung Republik untuk berbalik melawan. Atas nama ‘kedaulatan rakyat’ para pemuda revolusioner mengintimidasi, menculik, dan kadang-kadang membunuh para pejabat pemerintahan, kepala-kepala desa, dan anggota-anggota polisi yang kesetiaannya disangsikan, atau yang dituduh melakukan korupsi, pencatutan, atau penindasan selama pendudukan jepang. Dalam kekacauan ini tindakan-tindakan atas nama kedaulatan kadang-kadang sulit dibedakan dari tindakan-tindakan perampokan, perampasan, pemerasan, dan pembalasan dendam semata. “Semangat merdeka menyala-nyala, sehingga menyebabkan mereka kurang dapat mengendalikan diri.” (Moedjanto, 1993:100). Surabaya menjadi ajang pertempuran yang paling hebat selama revolusi, sehingga menjadi lambang perlawanan nasional. Soetomo, orang yang lebih dikenal dengan Bung Tomo meggunakan radio setempat untuk menimbulkan suasana revolusi yang fanatik ke seluruh penjuru kota. Di kota yang sedang bergolak ini kira-kira 6.000 pasukan inggris yang terdiri dari serdadu-serdadu india tiba pada tanggal 2 Oktober untuk mengungsikan para tawanan. Sekitar 2.000 TKR yang baru saja terbentuk dan sebanyak kurang lebih 120.000 orang dari badan-badan perjuangan siap untuk membantai prajurit-prajurit India tersebut, meskipun persenjataan mereka sangat tidak memadai. Pada tanggal 30 oktober diadakanlah gencatan senjata. Akan tetapi pertempuran meletus lagi dan panglima pasukan inggris setempat, brigadier jenderal A.W.S. Mallaby terbunuh. Pada tanggal 10 November subuh, pasukan-pasukan inggris memulai suatu aksi pembersihan berdarah sebagai hukuman di seluruh pelosok kota di bawah lindungan pengeboman dari udara dan laut, dalam menghadapi perlawanan Indonesia yang fanatik. Ribuan rakyat Indonesia gugur dan ribuan lainnya meninggalkan ota yang hancur tersebut. Pihak Republik kehilangan banyak tenaga manusia dan senjata dalam pertempuran Surabaya, tetapi perlawanan mereka yang bersifat pengorbanan tersebut telah menciptakan suatu lambang dan pekik persatuan demi revolusi. Banyak orang Belanda telah benar-benar merasa yakin bahwa Republik hanya mewakili segerombolan kolaborator yang tidak mendapat dukungan rakyat. Tak seorangpun pengamat yang serius dapat mempertahankan anggapan seperti itu. Kepercayaan kekebalan, ramalan-ramalan dan tradisi-tradisi pribumi lain, mendalamnya ketegangan-ketegangan sosial pribumi atau daya tarik kekerasan bagi rakyat Indonesia, membuat gagasan mengenai suatu revolusi sosialis internasional yang akan bersifat demokratis, anti bangsawan, dan anti fasis sulit diterapkan di Indonesia. Keadaan di dalam Republik di Jawa pada tahun 1948 sangat gawat. Kekuasaan republik secara efektif terdesak ke wilayah pedalaman Jawa Tengah yang sangat padat peduduknya dan kekurangan beras, dimana penderitaan semakin meningkat sebagai akibat blokade belanda dan masuknya sekitar enam juta pengungsi dan tentara republik. Pemerintah Republik mencetak lebih banyak uang lagi untuk menutup biaya sehingga inflasi pun melonjak. Akan tetapi, tindakan ini bukannya tanpa akibat-akibat yang menguntungkan. Dengan meningkatnya inflasi dan harga beras, maka meningkat pula penghasilan para petani dan sebagian besar hutang mereka dapat dilunasi, sementara penghasilan para pekerja merosot. Pada tanggal 29 Agustus 1947 secara sepihak mereka memproklamirkan apa yang dinamakan “garis van mook”. Menurut garis Van Mook, republik itu dibatasi hingga lebih sedikit dari sepertiga wilayah jawa – wilayah tengah bagian timur (dikurangi pelabuhan-pelabuhan parairan laut-dalam) dan ujung yang paling utara dari pulau itu. Separuh Madura, dan bagian paling luas tetapi paling miskin dari Sumatera. Garis van Mook menyingkirkan Republik itu dari wilayah-wilayah pertanian paling subur di Jawa maupun sumatera. Akan tetapi khusus di Jawa, situasinya sangat gawat. Wilayah yang tetap dikuasai Republik merupakan wilayah yang kekurangan pangan dengan produksi beras perkapita diperkirakan oleh pemerintah hanya 62,6 kuintal dibandingkan dengan 85,9 kuintal di daerah-daerah yang dikuasai Belanda. Di samping itu, daerah yang tersisa untuk republic ini didiami penduduk sejumlah 23 juta orang yang kemudian ditambah lebih dari 700 ribu pengungsi dari daerah-daerah yang dikuasai Belanda (Kahin, 1995: 278). Pola makan yang berubah, pola hidup yang berubah serta tekanan-tekanan sosial ekonomi yang menghimpit menyebabkan perubahan mendasar dalam aspek-aspek fisik maupun psikologi masyarakat. Dalam aspek fisik nyata terlihat kemiskinan endemis yang makin meluas, kesehatan yang merosot serta angka kematian yang tinggi. Dalam apek nonfisik, terlihat kemiskinan mentalitas akibat rongrongan dan ketakutan yang tidak proporsional. Kegelisahan komunal dan ketidaktentraman cultural yang makin meningkat frekuensinya. Dapat dikatakan bahwa keadaan petani dan masyarakat pedesaan di jawa berada dalam tingkat yang sangat buruk. Oleh Scott disebut sebagai “subsistence level”, yaitu tingkat pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Pemikiran yang digunakan adalah bagaimana mereka dapat sekedar bertahan hidup, dalam situasi yang makin memburuk dan suasana yang makin tak menentu kapan akan berakhir (Cahyo Budi, 1995: 192-193). Di sumatera, terjadi revolusi-revolusi sosial yang keras dan menentang elite-elite bangsawan. Di aceh prmusuhan sengit antara para pemimpin agama (ulama) dan para bangsawan birokrat (uleebalang) mengakibatkan timbulnya suatu perubahan yang permanen di tingkat elite. Banyak uleebalang yang mengharapkan kembalinya Belanda, dan puncaknya meletuslah perang saudara. Para uleebalang gagal untuk melaksanakan suatu perlawanan terpadu terhadap kekuatan-kekuatan pro-republik yang dipimpin oleh para ulama. Aceh dengan ideology islam, menjadi wilayah yang paling stabil di Indonesia selama masa revolusi. Di sumatera timur, kelompok-kelompok bersenjata yang sebagian besar terdiri dari orang-orang batak dan dipimpin oleh kaum kiri, menyerang raja-raja batak pada bulan maret 1946. Penangkapan-penangkapan dan perampokan-perampokan terhadap para raja segera berubah menjadi pembantaian yang mengakibatkan tewasnya beratus-ratus bangsawan sumatera Timur, diantaranya adalah Amir Hamzah. Para politisi republik setempat serta satuan-satuan tentara setempat menentang tindak kekerasan ini, dan pada akhir bulan April para pemimpin terkemuka revolusi sosial berdarah ini ditangkap, tetapi sebagian dapat menyelamatkan diri dalam persembunyian. Perpecahan-perpecahan di dalam tubuh/kekuatan-kekuatan revolusi di sumatera timur tampak jelas dengan penindasan terhadap revolusi sosial tersebut. Semetara itu, perpecahan di kalangan elite revolusi di jawa menjadi semakin tegang ketika partai-partai politik terbentuk. Partai-partai yang penting pada masa revolusi diantaranya: PKI (Partai komunis Indonesia), Pesindo (pemuda sosialis indonesia), Masyumi, dan PNI (partai nasional Indonesia). Semangat revolusi juga terlihat di dalam kesusastraan dan kesenian. Surat-surat kabar dan majalah-majalah republik bermunculan di banyak daerah, terutama di Jakarta, Yogyakarta dan Surakarta. Keseluruhan suatu generasi satrawan pada umumnya dinamakan angkatan 45, yaitu orang-orang yang daya kreatifnya memuncak pada zaman revolusi. C. Berakhirnya Revolusi Fisik Dengan pengakuan kedaulatan tanggal 27 desember 1949, maka berakhirlah masa revolusi bersenjata di Indonesia dan secara de jure pihak Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk RIS. Namun atas kesepakatan rakyat Indonesia tanggal 17 agustus 1950, RIS dibubarkan dan dibentuk NKRI. Selanjutnya pada tanggal 28 september 1950, Indonesia di terima menjadi anggota PBB yang ke-60. Hal ini berarti bahwa kemerdekaan Indonesia secara resmi telah di akui oleh dunia internasional. PENUTUP Masa-masa revolusi fisik merupakan masa yang cukup berat bagi bangsa Indonesia karena disamping harus berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diraihnya harus juga berjuang mewujudkan negara kesatuan RI. Wilayah Indonesia telah dipecah-pecah oleh Belanda. Oleh karena itu, bangsa Indonesia berjuang untuk merebut kembali wilayah yang menjadi miliknya melalui perjuangan diplomasi maupun angkat senjata. Akhirnya usaha Belanda untuk menguasai kembali Indonesia gagal karena ada perlawanan bangsa Indonesia dan dukungan Negara-negara yang bersimpati terutama Amerika Serikat. Bagaimanapun juga kemenangan pihak Belanda yang hampir tercapai ini, banyak menolong untuk menggalang kebhinekaan bangsa Indonesia menjadi sebuah republik kesatuan yang bersepakat terhadap apa yang ditentangnya, seandainya bukan selalu menyepakati apa yang disokongnya. Dengan demikian, akhirnya pihak Belanda harus melupakan usahanya membentuk imperium di Indonesia dan meninggalkan suatu warisan persatuan yang sangat berharga.

SYARIF ABDUL HAMID ALKADRIE SANG PERANCANG LAMBANG NEGARA INDONESIA

Perancang lambang negara Indonesia berbentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang kemudian disingkat dengan nama Garuda Pancasila ternyata bernama Syarif Abdul Hamid Alkadrie yang punya gelar Sultan Hamid II putra sulung dari Sultan Syarif Muhammadi Alkadrie dari Kesultanan Pontianak di Kalimantan Barat. Syarif Abdul Hamid Alkadrie lahir di Pontianak pada tanggal 12 Juli 1913 merupakan darah campuran Indonesia – Arab. Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS (Europese Legere School) atau lebih dikenal dengan Sekolah Belanda yang ditujukan untuk mengembangkan dan mendidik serta memperkuat kesadaran nasional dikalangan keturunan Belanda dan kebanyakan Indo-Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya sekolah dasar ini juga anak Indonesia dan Tionghoa walaupun jumlahnya kecil. Dalam sekolah ini diajarkan ilmu alam, dasar-dasar bahasa Perancis, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman, sejarah umum, matematika, pertanian, menggambar, pendidikan jasmani, dan pekerjaan tangan. Penggunaan bahasa asing dalam sekolah ini memang dimaksudkan agar lulusannya bisa memasuki sekolah menengah yang bernama HBS (Hogere Burger School) yang memang diperuntukkan bagi murid-murid Belanda dan golongan baik yang sanggup menyekolahkan anaknya ke ELS (Europese Legere School) kelas satu. Sedangkan Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh ELS (Europese Legere School) di Sukabumi, Pontinak, Yogyakarta, dan Bandung. Setelah menamatkan pendidikan dasar dilanjutkan ke sekolah menengah HBS (Hogere Burger School) di kota Bandung selama satu tahun, dan sekolah THS di Bandung walau tidak sampai tamat. Kemudian melanjutkan ke sekolah militer bernama KMA di kota Breda Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada Kesatuan Tentara Hindia Belanda (Koeningklik Netherland Indie Leger). Pada saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di tahun 1942 Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditahan Jepang 10 Maret 1942 akhirnya dibebaskan kembali ketika Jepang menyerah kepada Sekutu selanjutnya mendapat kenaikan pangkat kolonel. Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan ternyata Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat menjadi Sultan Pontianak pada tanggal 29 Oktober 1945 karena merupakan putra sulung pewaris Kesultanan Pontianak untuk menggantikan ayahandanya kemudian diberi gelar Sultan Hamid II. Ketika Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus sampai dengan 2 September 1949 yang diantara isi penyerahan itu Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat maka Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Negara Zonder Portopolio. Sehubungan dengan jabatan selaku menteri negara tersebut ditugaskan Presiden Soekarno untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. Presiden Soekarno berpesan hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa Indonesia, dasar negara Indonesia, dengan merangkum Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Pada 10 Januari 1950 Presiden Soekarno membentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara dibawah koordinator Menteri Negara Zonder Portopolio Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) dengan susunan panitia teknis sebagai berikut yang diketuai oleh Mohammad Yamin dengan didampingi anggota Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabeu Purbatjaraka. Tugasnya menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Panitia Lencana Negara berhasil memilih dua rancangan terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Dalam proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS) adalah rancangan Sultan Hamid II. Untuk itulah kemudian Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang kemudian disingkat dengan nama Garuda Pancasila. Presiden Soekarno memperkenalkan lambang negara itu untuk pertama kalinya kepada khalayak umum di Hotel Des Indis Jakarta pada 15 Pebruari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara yang diumumkan itu terus diupayakan, kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang awalnya gundul menjadi berjambul, dan bentuk cakar kaki yang mencengkeram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan. Kemudian Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan terakhir ini kemudian menjadi lembaran resmi Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 jo pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 Tokoh dan juga seorang sultan yang berjasa terhadap bangsa Indonesia ini meninggal dunia pada 30 Maret 1978 dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang Kalimantan Barat.

Mr. ASSAAT PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SEMBILAN BULAN

Ketika itu dalam tahun 1946-1949 di Jalan Malioboro Yogyakarta hampir setiap hari terlihat seorang berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai dengan irama revolusi. Terkadang ia berjalan kaki kalaupun tidak bersepeda menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Dibalik kulitnya yang kehitam-hitaman dia memancarkan wajah ceriah serta bersikap sederhana. Walaupun usianya saat itu baru 40 tahun terlihat rambutnya mulai memutih dengan peci beludru hitam yang tidak pernah lepas dari kepalanya. Itulah sosok Mr. Assaat yang menjabat Presiden RI sekitar 9 bulan Mr. Assaat menjabat dari tanggal 27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950. Dalam catatan sejarah pada 27 Desember 1959 terjadi dua transfer kekuasaan yaitu di Amsterdam Negeri Belanda ada penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) dan di Yogyakarta ada penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat. RIS yang terdiri dari 16 negara bagian yang salah satunya adalah Republik Indonesia. Karena Soekarno dan Moh Hatta telah ditetapkan menjadi presiden dan perdana menteri RIS berarti terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia. Untuk mengisinya maka Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Mr. Assaat dilantik pada 27 Desember 1949 sebagai Pemengku Jabatan (action) Presiden RI. Pengakuan keberadaan RI dengan presidennya Mr. Assaaat dalam RIS yang hanya beberapa bulan, tampaknya bahwa sejrah Republik Indonesia sejak tahun 1945 tidak pernha putus sampai kini. Walaupu usia Republik Indonesia sebagai negara bagian RIS hanya delapan bulan, Mr. Assaat telah melakukan usaha signifikan dalam memperjuangkan kembali negara kesatuan yang meliputi seluruh kepulauan Indonesia. Banyak negara bagian RIS yang menggabungkan diri pada Republik Indonesia pimpinan Mr. Assaat. Akhirnya jumlah negara bagian RIS hanya tinggal tiga, yaitu Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur. Pada bulan Juli 1950 negara RIS yang terdiri dari Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur mengubah bentuk Negara Federasi RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai tanggal 17 Agustus 1950. Ketiga presiden negara bagian tadi menyerahkan mandat kepresidenan kepada Soekarno sebagi Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Walaupun ini merupakan bentuk taktik diplomasi bangsa Indonesia untuk menghadapi kelicikan Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia seperti sebelum terjadinya Perang Dunia II dahulu dan sekaligus memenangkan seluruh wilayah Indonesia untuk kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Dengan pengakuan keberadaan RI dalam RIS yang hanya bebarapa bulan, tampak sejarah Republik Indonesia sjak 1945 tidak pernah putus sampai kini. Bahkan ketika memangku jabatan, Mr. Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gajahmada di Yogyakarta atas nama Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian kita tidak dapat menghilangkan realitas sejarah bahwa Mr. Assaat adalah pejabat presiden yang diakui pula statusnya dalam kepemimpinan Republik Indonesia. Dalam perjalanan sejarah hidupnya Mr. Assaat seorang yang demokrat dan seorang muslim pernah menentang kebijakan Presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin yang memberi angin segar kepada PKI didalam pemerintahannya. Karena keamanan yang terancam kemudian beliau menyingkir ke Sumatera, hingga terjadilah perlawanan terhadap pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) bersama para tokoh lainnya, sehingga membawanya dalam penjara masa demokrasi terpimpin selama empat tahun dari tahun 1962-1966. Dia baru keluar dari tahanan di Jakarta setelah Orde Lama diganti rezim Orde Baru. Selama sepuluh tahun berlangsung pada 16 Juli 1976 Mr Assaat yang lahir di Sumatera Barat, 18 September 1904 ini meninggal dunia di rumahnya yang sederhana di Warung Jati- Jakarta Selatan. Lelaki bergelar Datok Mudo ini diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan dan semua keluarganya. Pada waktu pemakaman dia dihormati oleh negara dengan prosesi kebesaran militer.

Konfrensi Meja Bundar

PERISTIWA SEKITAR PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA

A. UPAYA MEMPERSIAPKAN KEMERDEKAAN INDONESIA 1. Persiapan Kemerdekaan Indonesia Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik semakin jelas, sehingga pada 1 Maret 1945 Jenderal Kumakichi Harada inengumumkan dibentuknya suatu badan khusus yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yang bernama Dokuritsu Junbi Chosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPLJPKI). Badan ini bertujuan untuk mempelajari dan mempersiapkan hal-hal penting mengenai masalah tata pemerintahan Indonesia Merdeka. Anggota dari badan penyelidik ini terdiri atas 60 orang tokoh bangsa Indonesia dan 7 orang bangsa Jepang (mereka tidak mempunyai suara). Sebagai ketua ditunjuk KRT Radjiman Widyodiningrat (seorang nasionalis tua) dan wakil ketua, yaitu R. Surono dan seorang lagi dari orang Jepang. Badan penyelidik ini diresmikan pada 29 Mei 1945, yang dihadiri oleh seluruh anggota dan dua orang pembesar militer Jepang, yaitu Panglima Tentara Wilayah Ketujuh Jenderal Izagaki yang menguasai Jawa serta Panglima Tentara Wilayah Keenambelas Jenderal Yuichiro Nagano. Sidang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Sidang ini membicarakan dasar filsafat negara Indonesia Merdeka yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Tokoh-tokoh yang mengusulkan Dasar Negara itu di antaranya Mr. Muh Yamin, Prof. Dr. Supomo, Ir. Soekarno. 1. Pada sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muh Yamin mengajukan lima rancangan dasar negara Indonesia Merdeka di antaranya: a. Peri Kebangsaan b. Peri Kemanusiaan c. Peri Ketuhanan d. Peri Kerakyatan e. Kesejahteraan Rakyat 2. Pada sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Dr. Supomo mengajukan lima rancangan dasar negara Indonesia Merdeka, yaitu: a. Persatuan b. Kekeluargaan c. Mufakat dan Demokrasi d. Musyawarah e. Keadilan Sosial 3. Pada sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekamo mengajukan lima rancangan dasar negara Indonesia Merdeka, yang diberi nama Pancasila (nama yang diajukan oleh seorang ahli bahasa yang duduk di sampingnya). Kelima rancangan dasar yang diajukan itu di antaranya. a. Kebangsaan Indonesia b. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan c. Mufakat atau Demokrasi d. Kesejahteraan Sosial e. Ketuhanan Yang Maha Esa Setelah persidangan pertama itu selesai, BPUPKI menunda persidangan hingga bulan Juli 1945. Namun pada tanggal 22 Juni 1945, sembilan orang anggota yaitu Ir. Soekamo, Drs. Moh. Hatta, Mr. Muh Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakar, Wachid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso membentuk Panitia Sembilan atau Panitia Kecil. Panitia Sembilan ini menghasilkan dokumen yang berisi asas dan tujuan negara Indonesia Merdeka. Dokumen ini dikenal sebagai Piagam Djakarta, yang isinya adalah sebagai berikut: 1. Ketuhanan dengan berkewajiban men-jalankan syariat-syariat Islam bagi para pemeluknya 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Piagam Djakarta kemudian menjadi Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945. alam perumusan Piagam Djakarta sebagai dasar filsafat negara Indonesia Merdeka, diadakan perubahan pada sila pertama, yaitu dari "Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi para pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Perubahan seperti ini disesuaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang beraneka ragam agama. Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menyetujui pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi linkai menggantikan BPUPKI. Pada tanggal 9 Agustus 1945, tiga orang tokoh bangsa Indonesia yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Dr. Radjiman Widyodi-ningrat berangkat ke Saigon/Dalat (Vietnam Selatan) untuk memenuhi pang-gilan Panglima Mandala Asia Tenggara, Marsekal Terauchi guna menerima informasi tentang kemerdekaan Indonesia. Untuk pelaksanaannya dibentuk PPKI dan wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas jajahan Belanda. Anggota PPKI terdiri atas 21 orang dengan ketuanya Ir. Soekarno dan Wakil Ketua Drs. Moh. Hatta. Namun, tanpa seizin Jepang, PPKI diambil alih oleh pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia menjadi badan perjuangan milik bangsa Indonesia dengan menambah keanggotaannya menjadi 27 orang. 2. Landasan Dasar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Indonesia yang akan menjadi negara merdeka, sudah tentu mempunyai landasan dasar yang dapat mempertahankan kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari. Landasan itu adalah landasan dasar nasional dan" landasan dasar internasional. Landasan dasar nasional Landasan ini tercermin di dalam Pembukaan UUD 1945, sekaligus merupakan Deklarasi Kemerdekaan Indonesia. Adapun pokok-pokok isi Pembukaan UUD 1945 adalah: a. Bahwa Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan b. Dan perjuangan kemerdekaan itu telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. c. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. d. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia di dalam suatu Undang-Undang Dasar negara yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Landasan dasar internasional Untuk memperkuat kedudukan negara Indonesia merdeka dan sebagai bukti-bukti internasional tentang hak-hak dari segala bangsa-bangsa yang ada di muka bumi ini, maka dapat kita teliti deklarasi-deklarasi dunia maupun piagam-piagam bersejarah seperti: 1. Piagam Atlantik (Atlantic Charter), 14 Agustus 1941 yang ditandatangani oleh Franklin Delano Roosevelt (Presiden Amerika Serikat) dengan Winston Churchill (Perdana Menteri Inggris). Isi pokok dari piagam itu adalah sebagai berikut: a. tidak boleh ada perluasan daerah tanpa persetujuan dari penduduk asli. b. setiap bangsa berhak menentukan dan menetapkan bentuk pemerintahannya sendiri. c. setiap bangsa berhak mendapat kesempatan untuk bebas dari rasa takut dan bebas dari kemiskinan. 2. Piagam San Fransisco, merupakan Piagam PBB yang diresmikan dan ditandatangani oleh 50 negara sebagai negara yang pertama menjadi anggotanya. Dalam Piagam PBB ini disebutkan: "... kami akan meneguhkan keyakinan akan dasar-dasar hak manusia sebagai manusia sesuai dengan harkat dan derajat manusia berdasarkan atas hak-hak yang sama ... serta berusaha memajukan rakyat dan tingkat kehidupan yang lebih baik dalam suasana kemerdekaan yang lebih luas". Berdasarkan kedua piagam itu, maka bangsa Indonesia berhak menentukan nasib sendiri, berhak untuk hidup bebas dari kemiskinan serta rasa takut. Maka berdasarkan piagam tersebut pula, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia memiliki kedudukan yang kuat, baik secara nasional maupun internasional. B. PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA 1. Peristiwa Rengasdengklok Pada tanggal 14 Agustus 1945, pasukan Jepang menyerah tanpa syarat kepada pihak Sekutu. Berita itu dirahasiakan oleh tentara Jepang yang ada di wilayah Indonesia. Walaupun demikian, berita menyerahnya Jepang diketahui oleh kalangan pemuda bangsa Indonesia di kota Bandung tanggal 15 Agustus 1945 melalui berita siaran radio BBC (British Broadcasting Corporation) London. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta baru kembali ke tanah air setelah memenuhi panggilan Panglima Mandala Asia Tenggara, Marsekal Terauchi yang berkedudukan di Saigon, Vietnam. Para pemuda yang tergabung dalam Angkatan Baru segera mengadakan pertemuan setelah mendengar berita kekalahan Jepang. Pada tanggal 15 Agustus 1945 pukul 08.00 malam, para pemuda berkumpul di ruang belakang laboratorium bakteriologi, Jalan Pegangsaan Tirnur No. 13, Jakarta di bawah pimpinan Chaerul Saleh. Para pemuda bersepakat bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hak dan masalah rakyat Indonesia yang tidak bergantung kepada bangsa atau negara lainnya. Dengan segala macam bukti dan logika. Bung Karno menolak pandangan golongan pemuda. Golongan tua berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia hams dilaksanakan melalui revolusi secara teroganisir, karena pihaknya ingin membicarakan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang ditentukan tanggal 18 Agustus 1945 dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sebaliknya, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo ber¬pendapat bahwa masalah kemerdekaan Indonesia, baik datangnya dari pemerintah Jepang atau hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri tidak perlu dipersoalkan. Menurutnya, Jepang telah kalah dalam Perang Pasifik dan yang perlu dihadapi adalah pasukan Sekutu yang berusaha untuk mengembalikan kekuasaan bangsa Belanda atas wilayah Indonesia. Persoalan ini tidak mendapat tanggapan dari golongan pemuda, dan mereka tetap pada prinsip semula, sehingga terjadilah perbedaan pendapat mengenai masalah kemer¬dekaan antara golongan tua dengan golongan muda. Per¬bedaan pendapat itu mendorong para pemuda untuk membawa Soekarno-Hatta (golongan tua) ke Rengasdengklok (kota Kawedanaan di sebelah timur Jakarta) tanggal 16 Agustus 1945, agar jauh dari pengaruh pemerintah pendudukan Jepang. Rengasdengklok dipilih karena berada jauh dari jalan raya utama Jakarta - Cirebon. Di samping itu, mereka dengan mudah dapat mengawasi tenfara Jepang yang hendak datang ke Rengasdengklok/ Karawang, Jawa Barat. Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok sehari penuh/ dengan menempati rumah milik warga masyarakat keturunan Tionghoa yang bernama Jo Ki Song. Para pemuda berupaya menekan kedua pemimpin bangsa Indonesia itu agar secepatnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa campur tangan tentara Jepang. Namun, upaya itu tidak dapat dilaksa-nakan. Tampaknya kedua pemimpin bangsa Indonesia itu mempunyai wibawa yang cukup besar, sehingga para pemuda merasa segan untuk men-dekatinya, apalagi melakukan penekanan. Sementara itu, melalui pembicaraan Sudancho Singgih dengan Soekarno, menyatakan bahwa Soekarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia setelah kembali ke Jakarta. Berdasarkan pernyataan Soekarno itu, maka pada tengah hari Sudancho Singgih kembali ke Jakarta untuk menyampaikan berita proklamasi kemerdekaan yang akan disampaikan oleh Soekarno kepada kawan-kawannya dan para pemimpin pemuda. Saat itu, di Jakarta sedang terjadi perundingan antara Ahmad Subardjo (mewakili golongan tua) dengan Wikana (mewakili golongan muda). Dari perundingan itu tercapai kata sepakat bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan di Jakarta. Di samping itu, Laksamana Tadashi Maeda mengizinkan rumah kediamannya dijadikan sebagai tempat perun¬dingan dan bahkan ia bersedia menjamin keselamatan para pemimpin bangsa Indonesia itu. Akhirnya, Soekarno-Hatta dijemput dari Rengasdengklok. Sebelum berangkat ke Rengasdengklok, Ahmad Subardjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawanya bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00 WIB. Dengan jaminan itu/ Komandan Kompi Sudancho Subeno bersedia melepas Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta beserta rombongan untuk kembali ke Jakarta. Rombongan tersebut tiba di Jakarta pukul 17.30 WIB. 2. Perumusan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Perumusan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilakukan di rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1 (sekarang Perpustakaan Nasional, Depdiknas). Naskah proklamasi dirumuskan oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Ahmad Subardjo. Dalam perumusan naskah proklamasi itu, Ir. Soekarno membuat konsep dan kemudian disempumakan dengan pendapat dari Drs. Moh. Hatta dan Ahmad Subardjo. Saat menjelang subuh, naskah proklamasi berhasil disele-saikan dan Ir. Soekarno membuka perte-muan dengan para hadirin. Ir. Soekarno menyarankan kepada seluruh yang hadir itu agar menandatangani naskah prokla¬masi sebagai wakil-wakil bangsa Indo¬nesia. Saran Ir. Soekarno itu diperkuat oleh Drs. Moh. Hatta dengan mengambil contoh pada Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat) yang ditandatangani oleh 13 utusan dari negara-negara bagian. Namun, usul itu ditentang oleh seorang tokoh golongan pemuda yaitu Sukami. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani naskah proklamasi adalah Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Usul Sukarni itu diterima dengan baik oleh para hadirin. Setelah mendapat persetujuan, Soekarno meminta Sayuti Melik untuk mengetik sesuai dengan naskah tulisan tangan-nya yang telah mengalami perubahan-perubahan yang telah disepakatinya. 3. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Pertemuan yang menghasilkan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pada tanggal 17 Agustus 1945 dini hari. Setelah terwujud naskah proklamasi, muncul masalah baru, yaitu bagaimana cara menyebarluaskan naskah tersebut ke seluruh penjuru wilayah Indonesia. Sementara itu, Sukami melaporkan bahwa Lapangan Ikada (sekarang bagian tenggara Lapangan Monumen Nasional) telah dipersiapkan sebagai tempat berkumpul masyarakat Jakarta untuk mendengarkan pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, jalan-jalan menuju Lapangan Ikada dijaga ketat oleh pasukan Jepang dengan bersenjata lengkap. Keadaan seperti itu sangat rawan bentrokan yang mungkin terjadi antara rakyat yang mendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia dan pasukan Jepang. Di pihak lain, Ir. Soekarno menganggap bahwa apabila proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan di Lapangan Ikada, dikhawatirkan akan mengalami kegagalan akibat terjadinya bentrokan antara rakyat Indonesia dan pihak Jepang. Oleh karena itu, disepakati bahwa pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan di depan rumah Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada hari Jumat 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB (pertengahan bulan Ramadhan). Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan sebelum membacakan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. C. PENYEBARLUASAN BERITA PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA 1. Penyebarluasan Berita Proklamasi Sambutan dan dukungan terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia cukup luas di kalangan masyarakat Indonesia. Berita tentang proklamasi tersebut menyebar ke hampir seluruh penjuru tanah air. Berita tersebut menyebar melalui media massa surat kabar maupun radio. Walaupun masih dikuasai oleh tentara Jepang, ternyata radio merupakan sarana penting di dalam menyebarluaskan berita proklamasi. Tokoh pergerakan bangsa Indonesia yang bekerja pada stasiun radio antara lain Maladi dan Yusuf Ronodipura. Semua stasiun radio dan stasiun kereta api di Pulau Jawa merupakan sarana untuk meneruskan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia agar sampai kepada masyarakat Indonesia. Kantor berita Jepang, Domei dapat dikacaukan, bahkan berita kemerdekaan Indonesia dapat tersebar hingga ke luar negeri melalui jaringan Jepang sendiri. Sinar api kemerdekaan Indonesia itupun terus merayap ke mana-mana, ke seluruh pelosok Pulau Jawa kemudian menyeberang lautan menuju ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Surat kabar yang pertama kali menyiarkan berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah Tjahaja yang terbit di Bandung dan Soeara Asia yang terbit di Surabaya. Penyambutan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh seluruh rakyat dibuktikan dengan pelucutan senjata^pasukan Jepang, pengambilalihan pucuk pimpinan dan semangat terus berjuang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di samping melalui siaran radio, koran dan selebaran-selebaran, berita proklamasi secara resmi dibawa oleh para utusan yang kebetulan menghadiri sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan menyaksikan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Utusan-utusan itu di antaranya, Teuku Muhammad Hasan (Aceh), Sam Ratulangi (Sulawesi), Ketut Pudja (Bali), AA Hamidan (Kalimantan). 2. Dukungan Rakyat terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia a. Rapat Raksasa di Lapangan Ikada Pada tanggal 19 Agustus 1945 direncanakan akan diadakan rapat raksasa di Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) dengan tujuan agar para pemimpin bangsa Indonesia dapat berbicara langsung di hadapan rakyat Indonesia. Rakyat telah siap menunggu perintah dan tugas-tugas selanjutnya dalam rangka mendukung dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Penyelenggaraan rapat raksasa di Lapangan Ikada ini dipelopori oleh kalangan pemuda. Para pemuda (khususnya yang berada di Jakarta dan sekitarnya) telah siap menerima perintah dari para pemimpin Republik Indonesia, tetapi perintah yang ditunggu itu tidak kunjung datang hingga tanggal 19 Agustus 1945. Oleh karena itu, pada tanggal 19 Agustus 1945 diperkirakan sekitar 200-300 ribu rakyat berkumpul di Lapangan Ikada. Rakyat yang terdiri atas unsur-unsur rakyat yang berasal dari Jakarta, Tange-rang, Bekasi, dan sekitarnya, serta para pemuda yang berasal dari Seinen-dan, Keibodan, Barisan Pelopor, dan BKR. Persiapan penyelenggaraan rapat raksasa itu dilakukan secara beranting oleh organisasi pemuda, BKR, Barisan Pelopor, Pamong Desa, API, RT, pelajar dan Hisbullah. Walaupun demikian, rapat raksasa yang dilakukan di Lapangan Ikada itu mengalami banyak hambatan seperti: 1) Pada tanggal 16 Agustus 1945, Jepang mengeluarkan pernyataan yang melarang pelaksanaan rapat-rapat. 2) Adanya pro dan kontra di kalangan para menteri, mengingat bahaya yang ditimbulkan terhadap larangan dari Jepang itu. 3) Pada saat terlaksananya rapat itu, Lapangan Ikada dijaga ketat dalam radius satu kilometer oleh pasukan tank, pasukan pejalan kaki, dan tentara Jepang yang dilengkapi dengan bayonet. Berbagai hambatan itu dapat dihadapinya dan Presiden Soekarno mengucapkan pidato singkat sebagai berikut. "..... Sebenarnya Pemerintah Republik Indonesia telah memberikan perintah untuk membatalkan rapat mi. Tetapi karena saudara-saudara memaksa, maka saya datang ke sini lengkap dengan menteri-menteri. Saya sekarang berbicara sebagai saudaramu, Bung Karno. Saya minta saudara-saudara tinggal tenang dan mengerti akan pimpinan yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kalau memang saudara percaya kepada pemerintah Republik Indonesia yang akan memper¬tahankan Proklamasi Kemerdekaan ini, walaupun kami akan robek karenanya. Maka berikanlah kepercayaan itu kepada kami, dengan tunduk kepada perintah-perintah kami dan disipliner. Sesudah perintah kami ini, marilah kita sekarang pulang dengan tenang dan tentram ..." Setelah mendengar pidato Bung Karno, rakyat berangsur-angsur pulang dengan tertib. Kemerdekaan telah rnenjadi dambaan bangsa Indonesia sejak beratus-ratus tahun yang silam, bahkan mereka siap berkorban hanya untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, rapat di Lapangan Ikada merupakan gambaran tekad bangsa Indonesia untuk tetap mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara dari segala bentuk penjajahan dan kekuasaan bangsa asing. b. Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX Dalam upaya mewujudkan negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat memberikan dukungan terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Atas dukungannya Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberikan pernyataan sebagai berikut. Kami Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan: 1) Bahwa negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia; 2) Bahwa kami sebagai kepala daerah memegang segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan oleh karena itu, berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat muled saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lain kami pegang seluruhnya; 3) Bahwa hubungan antara negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah pusat negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mengindahkan amanat kami ini. Ngayogyakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe, 1876 (1 September 1945). Hamengku Buwono IX Melalui pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX itu, negeri Ngayogyakarta Hadiningrat secara resmi menjadi bagian wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia dengan kedudukannya sebagai daerah istimewa. Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX itu mendapat sambutan dari seluruh rakyat Indonesia untuk memberikan dukungan serta memper¬tahankan kedaulatan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. 3. Tindakan-tindakan Heroik di Berbagai Kota Rapat raksasa di Lapangan Ikada hanya berlangsung beberapa menit dan berhasil mempertemukan rakyat dengan pemerintah Republik Indonesia. Sementara itu, di seluruh daerah kekuasaan Republik Indonesia terjadi perebutan kekuasaan, baik dilakukan dengan cara kekerasan maupun dilakukan dengan jalan perundingan. Tindakan-tindakan bangsa Indonesia dalam merebut kekuasaan dari tangan Jepang dilakukan dengan merebut tempat-tempat yang dianggap penting dan merebut persenjataan Jepang. Daerah-daerah yang bergejolak itu adalah sebagai berikut. Di Surabaya Selama bulan September 1945, terjadi perebutan senjata di arsenal (gudang mesiu) Don Bosco dan perebutan Markas Pertahanan di Jawa Timur. Selain itu, juga dilakukan perebutan atas pangkalan Angkatan Laut di Ujung beserta Markas Tentara Jepang dan juga merebut pabrik-pabrik yang tersebar di seluruh kota. Pada tanggal 22 September 1945 terjadi insiden bendera di Hotel Yamato. Insiden itu terjadi ketika orang-orang Belanda bekas tawanan Jepang menduduki hotel itu dengan bantuan pasukan Sekutu yang diterjunkan di Gunung Sari. Orang-orang Belanda mengibarkan bendera Belanda di puncak tiang bendera Hotel Yamato. Keadaan itu memancing kemarahan pemuda Indonesia. Hotel itu diserbu oleh para pemuda setelah permintaan Residen Soedirman untuk menurunkan bendera ditolak oleh Belanda. Beberapa orang pemuda akhirnya mengambil langkah-langkah keras, yaitu memanjat atap hotel dan menurunkan bendera Belanda dengan menyobek warna biru serta menaikkan kembali bendera Merah Putih. Sasaran berikutnya adalah Markas Kempetai yang dianggap sebagai lambang kekejaman pemerintah Jepang (kantor itu terletak di depan kantor Gubernur Jawa Timur sekarang). Di Yogyakarta Perebutan kekuasaan di daerah Yogyakarta dilakukan secara serentak dimulai tanggal 26 September 1945. Sejak pukul 10.00 pagi semua pegawai instansi pemerintah dan perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan aksi pemogokan. Mereka memaksa pemerintah Jepang menyerahkan semua kantor yang dikuasainya kepada pemerintah Republik Indonesia. Pada tanggal 27 September 1945, KNI daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di daerah itu telah berada di tangan pemerintah Republik Indonesia. Di Semarang Pada tanggal 14 Oktober 1945, 400 orang tawanan Jepang dari pabrik gula Cipiring diangkut oleh pemuda Indonesia ke Semarang dengan rencana untuk menawannya di penjara Bulu. Namun dalam perjalanan, sebagian dari tawanan itu berhasil melarikan din dan meminta perlindungan kepada Batalion Kido. Para pemuda menjadi marah, sehingga melakukan perebutan dan pendudukan terhadap kantor pemerintah Jepang di Indonesia. Pasukan Jepang ditangkap dan ditawan. Namun pada keesokkan harinya pasukan Jepang melakukan serbuan ke Semarang dari tangsinya yang terletak di Jatingaleh. Dengan demikian, terjadilah pertempuran lima hari di Semarang. Korban yang jatuh di dalam pertempuran itu diperkirakan 990 orang dari kedua belah pihak. Di Sulawesi Selatan Pada tanggal 19 Agustus 1945, rombongan Dr. Sam Ratulangi tiba di Saparua, Bulukumba. Kemudian setelah tiba di Makassar, Sam Ratulangi langsung menyusun pemerintahan. Sam Ratulangi menjabat sebagai Gubernur Sulawesi dan Mr. Audi Zainal Abidin diangkat menjadi Sekretaris Daerah. Sementara itu, kalangan pemuda menganggap bahwa tindakan Gubernur terlalu berhati-hati. Oleh karena itu, para pemuda mengorganisir diri serta merencanakan untuk merebut gedung yang dianggap penting seperti studio radio, tangsi militer, dan pos polisi. Kelompok itu terdiri atas kelompok Barisan Berani Mati. Dalam kelompok pemuda itu juga terdapat mantan Kaigun, Heiho dan pelajar SMP. Pada tanggal 28 Oktober 1945 mereka telah bergerak menuju sasaran dan juga melakukan pendudukan. Perjuangan yang dilakukan oleh para pemuda dan rakyat Sulawesi Selatan ini bertujuan untuk dapat menegakkan dan membela proklamasi kemerdekaan Indonesia. Gerakan yang dilakukan oleh rakyat di dalam menegakkan kemerdekaan itu terus menjalar hingga ke daerah Gorontalo dan Minahasa. Di Kalimantan Di beberapa daerah di Kalimantan terjadi gerakan yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Hal itu terbukti dengan munculnya demonstrasi pengibaran bendera Merah Putih dan menyelenggaraan rapat-rapat. Pada tanggal 18 Nopember 1945 berkumpul kira-kira 8.000 orang di depan kompleks NICA di kota Balikpapan sambil membawa bendera Merah Putih. Di Sumbawa Pada bulan Desember 1945, para pemuda Indonesia di Sumbawa melakukan aksi. Mereka melakukan perebutan terhadap pos-pos militer Jepang, yaitu terjadi di Gempe, Sape, dan Raba. Di Bali Para pemuda di Bali membentuk beberapa organisasi dalam rangka mempertahankan dan menegakkan kedaulatan Indonesia. Organisasi pemuda itu, antara lain adalah AMI (Angkatan Muda Indonesia) dan PRI (Pemuda Republik Indonesia). Organisasi pemuda itu berusaha menegakkan kedaulatan Republik Indonesia melalui perundingan, tetapi mendapat hambatan dari pihak Jepang. Pada tanggal 13 Desember 1945, mereka secara serentak melakukan gerakan untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang Di Biak - Papua Pada tanggal 14 Maret 1948 terjadi pemberontakan di Biak (Papua) dengan sasaran Kamp NICA dan tangsi Sorido. Pemberontakan itu gagal dan dua orang pemimpinnya dihukum mati, sedangkan yang lainnya dihukum seumur hidup. Di Banda Aceh Pada tanggal 6 Oktober 1945, para pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Namun, pada tanggal 12 Oktober 1945 Shukokan Jepang memanggil para pemimpin pemuda dan menyatakan bahwa walaupun Jepang kalah, keamanan dan ketertiban masih tetap menjadi tanggung jawab pemerintah Jepang dan meminta agar semua perkumpulan pemuda menghentikan kegiatannya. Jepang juga mengancam akan membubarkan segala bentuk organisasi pemuda tersebut. Pimpinan pemuda menolak dengan keras dan pertemuan itu berubah menjadi ajang perbedaan pendapat antara kalangan pemuda dan pihak Jepang. Perseteruan terus berlangsung, akhirnya para pemuda merebut dan mengambil alih kantor pemerintah dengan pengibaran bendera Merah Putih. Pelucutan senjata Jepang terjadi di beberapa tempat dan bentrokan dengan pasukan Jepang juga terjadi di daerah Langsa, Lho Naga, Ulee Lheue, dan tempat-tempat lainnya di Aceh. Di Sumatera Selatan Pada tanggal 8 Oktober 1945 terjadi perebutart kekuasaan di Sumatera Selatan. Residen Sumatera Selatan, Dr. A.K. Gani bersama seluruh pegawai Gunseibu melaksanakan upacara pengibaran bendera Merah Putih. Setelah upacara itu, pegawai negeri kembali ke kantor, serta mengibarkan bendera Merah Putih di kantornya masing-masing. Dalam upacara itu diumumkan bahwa seluruh Karesidenan Palembang hanya terdapat satu kekuasaan yaitu kekuasaan dari Republik Indonesia. Perebutan kekuasaan di Palembang terjadi tanpa insiden, karena orang-orang Jepang telah menghindar ketika terjadinya demonstrasi. D. PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN DAN KELENGKAPAN NEGARA INDONESIA 1. Proses Terbentuknya Negara dan Pemerintahan Republik Indonesia Pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menyelenggarakan sidang untuk pertama kali yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Dalam sidang PPKI itu dibahas berbagai persoalan untuk melengkapi keberadaan negara Republik Indonesia yang baru diproklamasi-kan. Bahkan materi yang dibahas dalam sidang PPKI itu merupakan kelanjutan dari sidang BPUPKI tanggal 10 - 16 Juli 1945. Dalam sidang PPKI itu berhasil diambil suatu keputusan yang sangat penting bagi pemerintahan negara Republik Indonesia yang baru berdiri. Keputusan yang berhasil dicapai dalam sidang PPKI adalah sebagai berikut. a. Mengesahkan rancangan undang-undang dasar negara yang dibahas dalam siding BPUPKI menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Selanjutnya Undang-Undang Dasar itu lebih dikenal dengan istilah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). b. Memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden sebagai pelaksana pemerintahan yang sah dari Negara Republik Indonesia yang baru berdiri. Selanjutnya PPKI memilih dan mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden serta Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. c. Membentuk Komite Nasional Indonesia sebagai lembaga yang membantu Presiden dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebelum terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui pemilihan umum (pemilu). Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berjalan dengan lancar dan berhasil membentuk serta mengesahkan UUD 1945, memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden serta membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI). Dengan demikian, sejak tanggal 18 Agustus 1945, yairu sehari setelah Indonesia merdeka, negara Republik Indonesia telah memiliki sistem pemerintahan yang sah dan diakui oleh seluruh rakyat Indonesia. 2. Pembentukan Lembaga-lembaga Kelengkapan Negara Dalam rangka pembentukan lembaga-lembaga negara ini, maka Presiden menetapkan membentuk lembaga-lembaga negara yang erat kaitannya dengan masalah-masalah awal yang dihadapi Indonesia. Lembaga-lembaga negara yang perlu dan mendesak untuk dibentuk oleh pemerintah pada saat itu adalah sebagai berikut. a. Pembentukan Lembaga Kementerian (Departemen) Menteri merupakan jabatan yang memimpin departemen-departemen. Oleh karena itu, pembentukan lembaga kementerian juga diikuti dengan pembentukan departemen-departemen. Departemen ini menangani bidang-bidang yang lebih khusus lagi, sehingga seorang menteri yang diangkat untuk memimpin departemen, hendaknya memahami bidang yang akan ditanganinya itu. Departemen-departemen yang dibentuk beserta menteri-menteri yang diangkat adalah sebagai berikut. 1) Departemen Dalam Negeri : R.A.A. Wiranata Kusumah 2) Departemen Luar Negeri : Mr. Ahmad Subarjo 3) Departemen Keuangan : Mr. A.A. Maramis 4) Departemen Kehakiman : Prof. Mr. Supomo 5) Departemen Kemakmuran : Ir. Surahman T. Adi suryo 6) Departemen Keamanan Rakyat : Supriyadi 7) Departemen Kesehatan : Dr. Buntaran Martoatmojo 8) Departemen Pengajaran : Ki Hajar Dewantoro 9) Departemen Penerangan : Mr. Amir Syarifudin 10) Departemen Sosial : Mr. Iwa Kusumasumantri 11) Departemen Pekerjaan Umum : Abi Kusno Cokrosuyoso 12) Departemen Perhubungan (ad interim) : Abi Kusno Cokrosuyoso Pembentukan lembaga kementerian (departemen) ini tidak menyimpang dari UUD 1945. Dalam UUD 1945 telah dicantumkan bahwa pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh Presiden dan dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Presiden. Presiden memiliki hak prerogatif di dalam mengangkat dan memberhentikan para menterinya. Menteri sewaktu-waktu dapat diganti apabila seorang menteri di dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Presiden. Atau seorang menteri melakukan tindak pidana atau berurusan dengan masalah-masalah hukum yang berlaku di Indonesia. b. Pembentukan Komite Nasional Indonesia dan Daerah Dalam rapat PPKI tanggal 22 Agustus 1945 di Gedung Kebaktian Rakyat Jawa (Gambir Selatan, Jakarta) dibahas tiga masalah utama yang pernah dibicarakan dalam sidang sebelumnya. Pertemuan itu dipimpin oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Drs. Mohammad Hatta. Hasil yang dapat dicapai adalah sebagai berikut. 1) KNI (Komite Nasional Indonesia) merupakan badan atau lembaga yang berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sebelum dilaksanakannya pemilihan umum (pemilu). KNI ini disusun dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. 2) PNI (Partai Nasional Indonesia) dirancang menjadi partai tunggal negara Republik Indonesia, tetapi dibatalkan. 3) BKR (Badan Keamanan Rakyat) berfungsi sebagai penjaga keamanan umum pada tiap-tiap daerah. Komite Nasional Indonesia akhimya berhasil dibentuk dengan baik. Bahkan selanjutnya dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan juga dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Komite Nasional Indonesia Pusat dipimpin oleh Kasman Singodimedjo dan Suwiryo sebagai sekretarisnya. Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat terdiri atas 136 orang. Pada tanggal 25 Agustus 1945 pemerintah Republik Indonesia dengan resmi mengumumkan terbentuknya KNIP dan pelantikannya dilaksanakan pada tanggal 29 Agustus 1945. Dalam rapat KNIP tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan No. X yang isinya memberikan kekuasaan dan wewenang legislatif kepada KNIP untuk ikut serta dalam menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebelum MPR terbentuk dalam pemilihan umum. Kemudian atas desakan Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) Sutan Syahrir, pada tanggal 3 Nopember 1945 pemerintah mengeluarkan Maklumat Politik yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Republik Indonesia. Isi dari Maklumat Politik itu adalah sebagai berikut. 1) Pemerintah menghendaki adanya partai-partai politik, karena partai politik itu dapat membuka jalan bagi semua aliran atau paham yang ada dalam masyarakat. 2) Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun sebelum dilaksanakannya pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946. Dengan demikian, KNIP memiliki peranan dan tugas yang sangat penting pada awal berdirinya negara Republik Indonesia, karena dapat membantu Presiden dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Di samping itu, juga dapat memberikan masukan kepada Presiden dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraannya. c. Pembentukan Alat Kelengkapan Keamanan Negara Setelah mendengar laporan panitia kecil yang dipimpin oleh Ahmad Subardjo, rapat dilanjutkan dengan membahas masalah pertahanan dan keamanan negara. Panitia kecil yang membahas masalah pertahanan dan keamanan negara itu dipimpin oleh Otto Iskandardinata. Panitia kecil itu mengusulkan sebagai berikut. 1) Rencana pembelaan negara dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang mengandung unsur politik perang, tidak dapat diterima. 2) Tentara PETA di Jawa dan Bali serta Laskar Rakyat di Sumatera dibubar-kan, karena merupakan organisasi buatan Jepang yang kedudukannya di dalam dunia internasional tidak memiliki ketentuan dan kekuatan hukum. Negara Indonesia membutuhkan alat pertahanan negara yang sebaik-baiknya. Oleh sebab itu sidang mengusulkan agar Presiden memanggil pemuka-pemuka yang cakap di bidang militer untuk membentuk ketentaraan yang kuat. Sidang menerima usul tersebut secara akiamasi. Adapun urusan kepolisian dimasukkan dan menjadi bagian dari Departemen Dalam Negeri. Peserta sidang mengusulkan kepada Presiden Republik Indonesia agar menunjuk panitia pelaksana untuk mempersiapkan pembentukkan tentara kebangsaan dan kepolisian. Selanjutnya Presiden menunjuk Abdul Kadir (ketua), Kasman Singodimedjo, dan Otto Iskandardinata untuk mempersiap¬kan pembentukannya. Di samping itu, peserta sidang juga membahas perlunya dengan segera diciptakan ketentraman dan keamanan. Selanjutnya, pada tanggal 19 Agustus 1945, para pemuda meminta Presiden dan Wakil Presiden menghadiri rapat yang diselenggarakan di Jalan Prapatan 10 Jakarta, pukul 14.55. Rapat dipimpin oleh Adam Malik bersama Kasman Singodimedjo dan Ki Hajar Dewantara. Dalam rapat itu, Adam Malik membacakan dekrit mengenai lahirnya Tentara Republik Indonesia yang berasal dari anggota-anggota PETA maupun Heiho. Presiden dan Wakil Presiden tidak keberatan terhadap usul itu, namun belum dapat memutuskan pada saat itu. Selanjutnya, pada tanggal 23 Agustus 1945 Presiden Soekamo dalam pidatonya melalui siaran radio mengumumkan pembentukan tiga badan, termasuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). 1) Provinsi Sumatera : Teuku Muhammad Hasan 2) Provinsi Jawa Barat : Sutarjo Kartohadikusumo 3) Provinsi Jawa Timur : R.M. Suryo 4) Provinsi Jawa Tengah : R. Panji Suroso 5) Provinsi Sunda Kecil (Nusa Tenggara) : Mr. I Gusti Ketutu Pudja 6) Provinsi Maluku : Mr. J. Latuharhary 7) Provinsi Sulawesi : Dr. G.S.S.J. Ratulangi 8) Provinsi Kalimantan : Ir. Pangeran Mohammad Noor 4. Pembentukan Lembaga Pemerintahan di Daerah Untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan, dibentuklah perangkat-perangkat atau lembaga-lembaga daerah dengan tugas dan wewenang yang telah diatur perundangan-undangan. Lembaga-lembaga pemerintahan yang terdapat di daerah-daerah seperti: • Lembaga Pemerintah Daerah; Lembaga ini dipimpin oleh seorang kepala daerah dengan tugas dan wewenangnya adalah menjalankan pemerinta¬han atas daerah yang dikuasainya. Kepala daerah itu merupakan wakil dari pemerintah pusat di dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah-nya. • Lembaga Komite Nasional Indonesia Daerah (KNI-D); Lembaga ini sebagai tindak lanjut dari pembenrukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNI-P). Lembaga ini diduduki oleh perwakilan dari partai-partai politik yang ada pada daerah-daerah bersangkutan. Tugasnya adalah membantu gubernur dalam menjalankan tugas dan kepengawasan dalam tugas-tugas gubernur sebelum terbentuknya DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) melalui pemilihan umum. • Lembaga Teknis Daerah; lembaga ini merupakan institusi yang membantu pelaksanaan pemerintahan dari seorang kepala daerah. Lembaga teknis ini juga disebut dengan Dinas, dan terdiri atas Badan Peneliti dan Pengembangan, Badan Perencanaan, Lembaga Pengawasan, Badan Pendidikan, Badan Pelatihan dan sebagainya. • Dinas Daerah; lembaga ini merupakan unsur pelaksana dari pemerintah daerah yang menyelenggarakan urusan-urusan rumah tangga daerah itu sendiri. Dinas-dinas daerah ini di antaranya Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Penerangan, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, Dinas Pendapatan dan sebagainya. • Wakil Kepala Daerah; wakil kepala daerah adalah pembantu kepala daerah yang menjalankan tugas dan wewenangnya sehari-hari. Apabila kepala daerah berhalangan, maka wakil kepala daerah dapat mengganti-kan tugas dan wewenangnya. • Sekretariat Daerah; Sekretariat Daerah merupakan unsur staf yang tugasnya membantu Kepala Daerah di dalam menyelenggarakan pemerintahan atas daerah yang di perintahnya. Sekretariat Daerah ini dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah. E. PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN Dl BERBAGAI DAERAH 1. Pertempuran Surabaya (10 Nopember 1945) Pertempuran di Surabaya melawan pasukan Sekutu tidak lepas kaitannya dengan peristiwa yang mendahuluinya, yaitu usaha perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang dimulai sejak tanggal 2 September 1945. Perebutan kekuasaan dan senjata yang dilakukan oleh para pemuda berubah menjadi situasi revolusi yang konfrontatif antara pihak Indonesia dengan sekutu. Para pemuda sebelumnya sudah berhasil memiliki senjata dengan cara merampas dari tentara Jepang yang telah dinyatakan kalah perang. Pemerintah mendukung tindakan-tindakan yang dilakukan para pemuda, dengan maksud mempersenjatai diri dan mempertahankan kemerdekaan dari ancaman bangsa asing. Namun, pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya. Dengan tujuan melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan para interniran Sekutu. Pemimpin pasukan Sekutu menemui Gubernur Jawa Timur R.M. Soerjo untuk membicarakan maksud kedatangan mereka. Setelah diadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby berhasil mencapai suatu kesepakatan yaitu: a. Inggris berjanji bahwa di antara mereka tidak terdapat angkatan perang Belanda. b. Disetujuinya kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman. c. Akan segera dibentuk kontak biro sehingga kerja sama dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. d. Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang saja. Pihak Republik Indonesia akhirnya memperkenankan tentara Inggris memasuki kota dengan suatu syarat bahwa hanya obyek-obyek yang sesuai dengan tugasnya saja yang dapat diduduki, seperti kamp-kamp tawanan perang. Namun dalam perkembangan selanjutnya, pihak Inggris mengingkari janjinya. Pada tanggal 26 Oktober 1945 malam harinya satu peleton pasukan Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw melakukan penyerangan ke penjara Kalisosok untuk membebaskan Kolonel Huiyer (seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda) bersama kawan-kawannya. Tindakan Inggris dilanjutkan dengan melakukan pendudukan terhadap Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio dan obyek-obyek vital lainnya. Pada tanggal 27 Oktober 1945 pukul 11.00 pesawat terbang Inggris menyebarkan pamflet-pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya pada khususnya dan Jawa Timur pada umumnya untuk menyerahkan senjata yang dirampas dari tangan Jepang. Brigadir Jenderal Mallaby mengaku tidak tahu menahu soal pamflet-pamflet tersebut. la bahkan berpendirian bahwa sekalipun sudah terdapat perjanjian dengan pemerintah Republik Indonesia, tetapi ia akan melaksanakan tindakan sesuai dengan isi pamflet-pamflet tersebut. Sikap itu menghilangkan kepercayaan pemerintah Republik Indonesia terhadap pihak Inggris. Pada tanggal 27 Oktober 1945, terjadi kontak senjata yang pertama antara Indonesia dengan pasukan Inggris. Kontak senjata itu meluas, sehingga terjadi pertempuran pada tanggal 28, 29 dan 30 Oktober 1945. Dalam pertempuran itu, pasukan Sekutu dapat dipukul mundur dan bahkan hampir dapat dihancurkan oleh pasukan Indonesia. Pemimpin pasukan Sekutu Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby berhasil ditawan oleh para pemuda Indonesia. Melihat kenyataan seperti itu, Komandan pasukan Sekutu menghubungi Presiden Soekarno untuk mendamaikan perselisihan antara bangsa Indonesia dengan pasukan Sekutu-Inggris di Surabaya. Pada tanggal 30 Oktober 1945, Bung Kamo, Bung Hatta dan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya untuk mendamaikan perselisihan itu. Perdamaian berhasil dicapai dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Akan tetapi setelah Bung Karno, Bung Hatta dan Amir Syarifuddin berserta Hawthorn kembali ke Jakarta, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi dan menyebabkan terbunuhnya Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. Pasukan Inggris kemudian mendatangkan bala bantuan dari Divisi V dipimpin Mayor Jenderal Mansergh dengan 24.000 orang anak buahnya mendarat di Surabaya. Tanggal 9 Nopember 1945, Inggris mengeluarkan ultimatum yang berisi ancaman bahwa pihak Inggris akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara, apabila orang-orang Indonesia tidak menaati ultimatum itu. Inggris juga mengeluarkan instruksi yang isinya: ".....semua pemimpin bangsa Indonesia dari semua pihak di kota Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 Nopember 1945 pukul 06.00 pagi, pada tempat yang telah ditentukan dan membawa be.nd.era Merah Putih dengan diletakkan di atas tanah pada jarak seratus meter dari tempat berdiri, lalu mengangkat tangan tanda menyerah." Ultimatum itu ternyata tidak ditaati. Pada tanggal 10 Nopember 1945 terjadi pertempuran yang sangat dahsyat. 2. Pertempuran Ambarawa - Magelang Pertempuran di Ambarawa terjadi pada tanggal 20 Nopember 1945 dan berakhir pada tanggal 15 Desember 1945. Pertempuran itu terjadi antara pasukan TKR bersama rakyat Indonesia melawan pasukan Sekutu-Inggris. Peristiwa itu berlatar belakang insiden di Magelang sesudah men-daratnya Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Pihak Republik Indonesia memperkenankan mereka masuk ke wilayah RI untuk mengurus masalah tawanan perang bangsa Belanda yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang. Akan tetapi kedatangan pasukan Sekutu-Inggris diikuti oleh orang-orang NICA (Nederland Indische Civil Administration) yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945 terjadi insiden di kota Magelang yang berkembang menjadi pertempuran antara pasukan TKR dengan pasukan gabungan Sekutu-Inggris dan NICA. Insiden itu berhenti setelah Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethell datang ke Magelang tanggal 2 Nopember 1945. Mereka mengadakan gencatan senjata dan memperoleh kata sepakat yang dituangkan dalam 12 pasal. Naskah persetujuan itu di antaranya berisi: a. Pihak Sekutu tetap akan menempatkan pasukannya di Magelang untuk melindungi dan mengurus evakuasi APWI (Allied Prisoners War and Interneers atau Tawanan Perang dan Interniran Sekutu). Jumlah pasukanSekutu dibatasi sesuai dengan keperluan itu. b. Jalan Ambarawa - Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia - Sekutu. c. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya. Pihak Sekutu ternyata mengingkari janjinya. Pada tanggal 20 Nopember 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto dan tentara Sekutu. Pada tanggal 21 Nopember 1945, pasukan Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa. Namun, tanggal 22 Nopember 1945 pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR bersama dengan pasukan pemuda dari Boyolali, Salatiga, Kartasura bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis medan sepanjang rel kereta api dan membelah kota Ambarawa. Sementara itu, dari arah Magelang pasukan TKR dari Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 Nopember 1945 dan berhasil menduduki desa Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya yang sebelumnya diduduki sekutu. Batalyon Imam Androngi meneruskan gerakan pengejarannya disusul 3 batalyon dari Yogyakarta, yaitu Batalyon 10 Divisi III di bawah pimpinan Mayor Soeharto, Batalyon 8 di bawah pimpinan Mayor Sardjono dan Batalyon Sugeng. Musuh akhirnya terkepung. Walaupun demikian, pasukan musuh mencoba mematahkan pengepungan dengan mengancam kedudukan pasukan kita dari belakang dengan tank-tanknya. Untuk meng-hindari jatuhnya korban, pasukan mundur ke Bendano. Dengan bantuan resimen kedua yang dipimpin oleh M Sarbini, Batalyon Polisi Istimewa yang dipimpin oleh Onie Sastroatmodjo dan Batalyon dari Yogyakarta, gerakan musuh berhasil ditahan di desa Jambu. Para komandan pasukan kemudian mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar. Rapat itu menghasilkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran dan ber-tempat di Magelang. Sejak saat itu, Ambarawa dibagi atas empat sektor, yaitu Sektor Utara, Sektor Selatan, Sektor Barat, dan Sektor Timur. Pada tanggal 26 Nopember 1945, pimpinan pasukan TKR dari Purwokerto yaitu Letnan Kolonel Isdiman gugur dan digantikan oleh Kolonel Soedirman. Situasi pertempuran menguntungkan pasukan TKR. Pasukan Sekutu-Inggris terusir dari Banyubiru pada tanggal 5 Desember 1945, yang merupa-kan garis pertahanan terdepan. Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengambil prakarsa untuk mengumpulkan masing-masing komandan sektor. Akhirnya Kolonel Soedirman mengambil suatu kesimpulan bahwa pasukan musuh telah terjepit dan untuk itu perlu dilaksanakan serangan terakhir. Serangan direncanakan pada tanggal 12 Desember 1945 pukul 04.30 dipimpin oleh masing-masing komandan yang akan melakukan serangan secara mendadak dari semua sektor. Adapun keberadaan badan-badan perjuangan dapat menjadi tenaga cadangan. Pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari, pasukan-pasukan TKR bergerak menuju sasaran masing-masing. Dalam waktu setengah jam pasukan TKR berhasil mengepung musuh di dalam kota. Pertahanan musuh yang terkuat diperkirakan berada di Benteng Willem yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa. Kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Pada tanggal 15 Desember 1945, musuh meninggalkan kota Ambarawa dan mundur ke Semarang. Pertempuran di Ambarawa ini mempunyai arti penting karena letaknya yang sangat strategis. Apabila musuh menguasai Ambarawa, mereka dapat mengancam tiga kota utama di Jawa Tengah yaitu Surakarta, Magelang dan terutama Yogyakarta yang menjadi pusat kedudukan Markas Tertinggi TKR. 3. Pertempuran Medan Area Pada tanggal 9 Nopember 1945, pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatera Utara yang diikuti oleh pasukan NICA. Pemerintah Republik Indonesia di Sumatera Utara memperkenankan mereka untuk menempati beberapa Hotel yang terdapat di kota Medan, seperti Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel Astoria dan hotel-hotel lainnya. Selanjutnya mereka ditempatkan di Binjai, Tanjung Lapangan. Sehari setelah mendarat, Tim RAPWI mendatangi kamp-kamp tawanan yang ada di Medan atas persetujuan Gubernur M. Hasan. Kelompok itu langsung dibentuk menjadi medan Batalyon KNIL. Dengan adanya kekuatan itu, ternyata bekas tawanan menjadi arogan dan sewenang-wenang sehingga memancing munculnya insiden. Insiden pertama terjadi tanggal 13 Oktober 1945 di Jalan Bali, Medan. Insiden itu berawal dari ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-nginjak lencana Merah Putih. Akibat-nya hotel itu diserang dan dirusak oleh kalangan pemuda. Dampak dari insiden itu menjalar ke beberapa kota lain seperti Pematang Siantar, dan Brastagi. Pada tanggal 10 Oktober 1945 dibentuk TKR Sumatera Timur dengan pemimpinnya Achmad Tahir. Selanjut¬nya diadakan pemanggilan bekas Giyugun dan Heiho ke Sumatera Timur. Di samping TKR, terbentuk juga badan-badan perjuangan yang sejak tanggal 15 Oktober 1945 menjadi Pemuda Republik Indonesia Sumatera yang kemudian berganti menjadi Pesindo. Gambar : Prajurit-prajurit yang tergabung dalam Divisi Banteng di Sumatera Tengah, sedang melakukan konsolidasi untuk mempertahankan wilayah Sumatera dari ancaman tentara Sekutu-NICA Setelah dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tentang terbentuknya partai-partai politik pada bulan November 1945, di Sumatera dibentuk laskar-laskar partai. PNI memiliki laskar yang bernama Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), PKI mempunyai Barisan Merah, Masyumi mempunyai laskar Hisbullah dan Parkindo mendirikan Pemuda Parkindo. Sementara itu pada 18 Oktober 1945, Brigadir Jenderal T.E.D Kelly memberi ultimatum agar para pemuda Medan menyerahkan senjatanya kepada sekutu. Pasukan Sekutu-Inggris juga semakin memperkeruh suasana dengan permusuhan dikalangan pemuda Indonesia di Sumatera. Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu-Inggris memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di daerah-daerah pinggiran kota Medan. Sejak saat itu nama Medan Area menjadi terkenal. Inggris bersama NICA melakukan aksi pembersihan terhadap unsur-unsur Republik Indonesia di Medan. Bahkan pada tanggal 10 Desember 1945, mereka berusaha menghancurkan konsenterasi TKR di Trepes. Aksi tersebut tentu saja mendapat perlawanan yang sengit dari pemuda Medan. Dengan terjadinya peristiwa seperti itu, Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly kembali mengancam para pemuda agar menyerahkan senjata yang mereka miliki dan jika tidak akan ditembak mati. Pada bulan April 1946 tentara Sekutu Inggris sudah mulai mendesak Pemerintah Republik Indonesia di Medan. Gubernur, Markas Besar Divisi TKR dan Walikota pindah ke Pematang Siantar. Inggris pun akhirnya menduduki kota Medan. Pada tanggal 10 Agustus 1946, diselenggarakan pertemuan di Tebing Tinggi antara para komando pasukan yang berjuang di Medan yang memutuskan dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komando resimen itu terdiri atas empat sektor, dan tiap sektor dibagi atas empat subsektor. Tiap sektor berkekuatan satu batalyon. Markas Komando Resimen berkedudukan di Sudi Mengerti, Trepes. Di bawah komando itulah mereka meneruskan perjuangannya. 4. Bandung Lautan Api Pasukan Sekutu Inggris memasuki kota Bandung sejak pertengahan Oktober 1945. Menjelang November 1945, Pasukan NICA melakukan aksi teror di Bandung. Masuknya tentara sekutu (Inggris dan Gurkha) dimanfaat-kan NICA untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia. Namun semangat juang rakyat dan para pemuda Bandung tetap berkobar. Pertempuran besar dan kecil berlangsung terns di kota Bandung untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang baru didirikan. Untuk meredakan ketegangan diadakan perundingan antara pihak RI dengan Sekutu/NICA. Akhirnya, Bandung dibagi menjadi dua bagian. Pasukan sekutu menduduki wilayah Bandung bagian utara, sedangkan Indonesia memperoleh bagian selatan. Dalam situasi yang sedang memanas tersebut, bendungan Sungai Cikapundung jebol dan menyebabkan banjir besar dalam kota. Meskipun pihak Indonesia telah mengosongkan Bandung utara, tapi sekutu menuntut pengosongan sejauh 11 km. Hal itu menyebabkan rakyat Bandung marah. Mereka kemudian melakukan aksi pertempuran dengan membumihanguskan segenap penjuru Bandung selatan. Bandung terbakar hebat dari batas timur Cicadas sampai batas barat Andir. Satu juta jiwa penduduknya mengungsi ke luar kota pada tanggal 23 dan 24 Maret 1946. Meninggalkan Bandung yang telah menjadi lautan api. Sementara itu benteng NICA di Dayeuh Kolot, Bandung Selatan di-kepung oleh para pejuang Bandung. Kemudian muncul pemuda bernama Muhamad Toha yang berjibaku untuk menghancurkan gudang mesiu dengan membawa alat peledak. Gudang mesiu milik NICA itu hancur dan Toha gugur dalam menunaikan tugasnya. Peristiwa itu difilmkan dengan judul Toha Pahlawan Bandung Selatan. 5. Peristiwa Merah Putih di Manado Peristiwa Merah Putih terjadi tanggal 14 Februari 1946 di Manado. Para pemuda tergabung dalam pasukan KNIL Kompeni VII bersama laskar rakyat dari barisan pejuang melakukan perebutan kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa. Sekitar 600 orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan. Pada tanggal 16 Februari 1946 mereka mengeluarkan surat selebaran yang menyatakan bahwa kekuasaan di seluruh Manado telah berada di tangan bangsa Indonesia. Untuk mernperkuat kedudukan Republik Indonesia, para pemimpin dan pemuda menyusun pasukan keamanan dengan nama Pasukan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Mayor Waisan. Bendera Merah putih dikibarkan di seluruh pelosok Minahasa hampir selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Februari 1946. Dr. Sam Ratulangi diangkat sebagai Gubernur Sulawesi bertugas untuk memperjuangkan keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi. la memerintahkan pembentukan Badan Perjuangan Pusat Keselamatan Rakyat. Dr. Sam Ratulangi membuat petisi yang ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan bahwa seluruh rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia. Oleh karena petisi itu, pada tahun 1946, Sam Ratulangi ditangkap dan dibuang ke Serui (Irian Barat dan sekarang Papua). 6. Pertempuran Margarana (20 Nopember 1946) Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1946, lebih kurang 2.000 tentara Belanda mendarat di Pulau Bali. Diikuti oleh tokoh-tokoh Bali yang pro terhadap Belanda. Ketika Belanda mendarat di Pulau Bali, pimpinan Laskar Bali, Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, sedang menghadap ke Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta. Ketika kembali dari Yogyakarta I Gusti Ngurah Rai menemukan pasukannya porak-poranda akibat serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda. I Gusti Ngurah Rai terus berusaha untuk mempersatukan kembali pasukannya, sementara Belanda terus membujuk Ngurah Rai agar mau bekerja sama dengan pihak Belanda. Namun, ajakan itu ditolaknya. Penolakan itu terlihat dari isi surat balasannya kepada Belanda. Ngurah Rai menyatakan bahwa "Bali bukan tempat untuk perundingan dan perundingan merupakan hak dari pemimpin kami di pusat". Disamping itu, Ngurah Rai juga menyatakan bahwa "Pulau Bali bergolak karena kedatangan pasukan Belanda. Apabila menginginkan pulau Bali aman dan damai, Belanda harus angkat kaki dari Pulau Bali". Setelah berhasil menghimpun dan mempersatukan kembali pasukannya, pada tanggal 18 Nopember 1946, Ngurah Rai bersama pasukannya melakukan serangan terhadap Markas Belanda yang ada di kota Tabanan. Dalam peperangan itu pasukan Ngurah Rai mengalami kemenangan. Setelah kemenangan itu, pasukan Ngurah Rai mundur ke arah utara dan memusatkan markas perjuangannya di desa Margarana. Oleh karena mengalami kekalahan pada tanggal 20 Nopember 1946 Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya yang ada di Pulau Bali dan Lombok untuk mengepung Bali. Daerah Margarana diserang dengan tiba-tiba sehingga terjadi pertempuran sengit. Dalam pertempuran itu, Ngurah Rai menyerukan perang puputan (perang habis-habisan). I Gusti Ngurah Rai beserta seluruh pasukannya gugur dalam perang itu. Perang itu lebih dikenal dengan Perang Puputan Margarana. Setiap tahun yaitu pada tanggal 20 Nopember, selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan Margarana oleh rakyat Bali. 7. Perjanjian Linggarjati Perlawanan hebat dari rakyat dan para pemuda Indonesia, untuk mempertahankan kemerdekaan menyebabkan Inggris menarik suatu kesimpulan bahwa sengketa antara Indonesia dengan Belanda tidak mungkin dapat diselesaikan dengan kekuatan senjata, melainkan dengan cara diplomasi. Usaha merintis perundingan itu dilaksanakan oleh Letnan Jenderal Sir Phillip Christison, Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies), dengan jalan mempertemukan Presiden Soekarno dengan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. H.J. Van Mook. pada bulan Oktober 1945. Usaha Christison mengalami kegagalan, karena masing-masing pihak berpegang pada pendiriannya. Perundingan diadakan kembali pada tanggal 10 November 1946. Pemerintah Inggris mengirim Sir Archibald dark Kerr sebagai duta istimewa ke Indonesia. Dalam perundingan itu pemerintah Belanda menginginkan Indonesia menjadi negara persemakmuran (Commonwealth) melalui masa peralihan 10 tahun. Namun Indonesia menginginkan negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Untuk itu pemerintah Republik Indonesia bersedia membayar semua utang pemerintah Hindia Belanda sebelum tanggal 6 Maret 1942. Namun, pemerintah Belanda menolak konsesi itu. Perundingan dilanjutkan di negeri Belanda, di kota Hooge Veluwe bulan April 1946. Dalam perundingan itu, Belanda menolak usul yang diajukan dark Kerr tentang pengakuan kedaulatan secara de facto wilayah Indonesia yang terdiri atas Sumatera dan Jawa. Pemerintah Belanda hanya bersedia mengakui de facto terhadap daerah Jawa dan Madura saja. Sementara itu, usulan pemerintah Belanda agar wilayah Indonesia tetap berada di bawah naungan kerajaan Belanda ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Untuk menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda, maka pada tanggal 10 November 1946 diadakan perundingan di Linggarjati. Pihak Indonesia dipimpin oleh dr. Sudarsono, Jenderal Soedirman dan Jenderal Oerip Soemohardjo. Inggris mengirim Lord Killearn sebagai penengah setelah komisi gencatan senjata terbentuk. Isi persetujuan Linggarjati antara lain: a. Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda bersama-sama membentuk negara federasi bernama Negara Indonesia Serikat. b. Negara Indonesia Serikat tetap terikat dalam ikatan kerja sama dengan kerajaan Belanda, dengan wadah Uni Indonesia-Belanda yang diketuai oleh Ratu Belanda. Setelah naskah ditandatangani, muncul pro dan kontra di masyarakat mengenai hasil perundingan tersebut. Golongan yang pro adalah golongan-golongan yang mendukung pemerintah, seperti golongan sosialis yang tergabung dalam sayap kiri. Sebaliknya golongan yang kontra adalah golongan nasionalis, Islam dan sekuler yang tergabung dalam Gerakan Benteng Republik Indonesia. Namun dengan menambah suara dalam KNIP, pemerintah Republik Indonesia berhasil mendapat dukungan KNIP. Maka pada tanggal 25 Mart 1947 pihak Indonesia menyetujui Perjanjian Linggarjati.

GAGASAN PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA

1. Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) Munculnya PPPKI dipelopori oleh Ir. Soekarno. Gagasan munculnya PPPKI ini adalah sebagai akibat gagalnya gerakan PKI dalam menumbangkan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, Ir. Soekamo ber-pendapat bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak akan dapat diusir dari wilayah Indonesia tanpa adanya persatuan dan kesatuan di antara rakyat maupun organisasi-organisasi di wilayah Indonesia. Dalam upaya mewujudkan pembentukan federasi organisasi-organisasi politik di wilayah Indonesia, maka diadakanlah suatu pertemuan. Pertemuan itu diselenggarakan di Bandung dari tanggal 17-18 Desember 1927 dan dihadiri wakil dari berbagai organisasi. Wakil-wakil dari PSI, BU, PNI, Pasundan, Sumateranen Bond, Kaum Betawi dan kelompok studi Indonesia sepakat mendirikan federasi partai politik yang bernama Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Setelah PPPKI terbentuk, maka PPPKI berupaya untuk menyelenggara-kan kongres dalam rangka memantapkan perjuangan untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka. Kongres PPPKI pertama diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 2 September 1928. Dalam kongres itu wakil-wakil partai politik menyatakan harapannya bahwa kongres itu merupakan permulaan era baru bagi gerakan kebangsaan Indonesia. Rapat kerja yang diselenggarakan pada kongres PPPKI itu membahas masalah pendidikan nasional, bank nasional, dan cara-cara memperkuat kerja sama. Tokoh-tokoh yang hadir dalam rapat kerja itu di antaranya HOS Cokroaminoto (PSI), Ir. Soekarno (PNI), Otto Subrata (Pasundan), Muhammad Husni Thamrin (Kaum Betawi). Tokoh-tokoh tersebut berhasil menyiapkan aksi jangka pendek. Sementara itu kongres juga berhasil menunjuk Sutomo menduduki jabatan Ketua Majelis Pertimbangan PPPKI. Namun sebelum PPPKI berhasil menjadi federasi dari kekuatan partai politik, tiba-tiba pemerintah kolonial Belanda melakukan intervensi terhadap partai-partai yang bersifat nonkooperasi. Intervensi pemerintah kolonial Belanda itu dapat mempercepat runtuhnya PPPKI. Maka dalam kongres PPPKI kedua di Solo 25-27 Desember 1929 perpecahan semakin tampak jelas antara golongan moderat dan golongan radikal. Di samping itu, juga masalah kebangsaan dipersoalkan kembali. Hal ini disebabkan kelompok Islam tidak mau menerima istilah kebangsaan (alasannya karena yang digabung pada PPPKI itu hanyalah organisasi dari kelompok nasionalis saja). Namun Ir. Soekarno sebagai pencetus berdirinya PPPKI menyatakan bahwa istilah nasionalis itu bukan hanya istilah kebangsaan saja tetapi nasional. Bahkan secara tegas setiap partai menyatakan cita-cita nasional yaitu bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka /istilah kebangsaan telah itu tercantum di dalamnya. Perpecahan yang terjadi dalam PPPKI tidak dapat dihindarkan lagi. Ir. Soekarno yang dipandang sebagai simbol pemersatu dalam tubuh PPPKI, pada bulan Agustus 1930 dihadapkan pada pengadilan negeri Bandung. la ditangkap setelah menghadiri kongres PPPKI di Yogyakarta. 2. Kongres Pemuda a. Latar Belakang Munculnya Kongres Pemuda Indonesia Perkembangan nasionalisme Indonesia terjadi secara simultan dan tidak menjangkau partai-partai politik serta organisasi-organisasi pemuda yang berada dalam proses politik yang makin meningkat. Perhimpunan dan federasi dari berbagai kelompok organisasi tersebut merupakan salah satu wadah yang diinginkan pada waktu itu, karena hanya melalui kerjasama dan wadah bersama itu gerakan kebangsaan menjadi lebih kuat. Para pelajar dan mahasiswa dari beberapa organisasi mulai bergabung dalam satu wadah bersama, yaitu Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang didirikan pada tahun 1926. Anggota terbanyak berasal dari mahasiswa fakultas hukum, teknik, dan kedokteran di Bandung dan Jakarta. Untuk merealisasikan semangat persatuan dalam wadah nasionalisme itu, mereka menyelenggarakan Kongres Pemuda I pada bulan Mei tahun 1926. Mereka ingin menyingkirkan perbedaan-perbedaan sempit berdasarkan daerah dan ingin menciptakan kesatuan seluruh bangsa Indonesia. Maka pada tanggal 30 April - 2 Mei 1926 diselenggarakan Kongres Pemuda I di Jakarta (Batavia) dengan dipimpin oleh Moh. Tabrahi dari Jong Java. Tujuan kongres adalah membentuk badan sentral, memajukan paham persatuan kebangsaan, dan mempererat hubungan di antara semua per¬kumpulan pemuda kebangsaan. Kongres diadakan oleh semua perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatera Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Minahasa, Jong Batak dan Jong Islamieten Bond. Mereka membentuk badan komite yang diketuai oleh Moh. Tabrani dari Jong Java, sekretaris Jamaluddin Adi Negoro dari Jong Sumatranen Bond dan bendahara Suwarso. Anggota panitia penyelenggara kongres lain adalah Bahder Johan (Jong Sumatera Bond), Jan Toule Soulemwir, Paul Pinontoan, Hamami, Sanusi Pane, dan Sarbini. Dalam buku Verslag Van Hel Eerste Indonesisch }ong Conggres yang diterbitkan oleh panitia kongres, Moh Tabrani, di dalam karangannya tentang Kongres Pemuda I mengatakan, "menggugah semangat kerjasama di antara bermacam organisasi pemuda tanah air kita, supaya dapat mewujudkan kelahiran persatuan Indonesia, di tengah bangsa-bangsa di dunia". Dalam kongres tersebut Muhammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond memberikan ceramah tentang bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. la mengatakan, tanpa mengurangi penghargaan terhadap bahasa-bahasa daerah seperti Sunda, Aceh, Bugis, Madura, Minangkabau, Rotti, Batak dan lain-lain, menurutnya hanya ada dua bahasa yaitu bahasa Jawa dan bahasa Melayu yang mendukung harapan menjadi bahasa persatuan di masa depan. Namun menurut keyakinannya, bahasa Melayu lambat laun akan menjadi Bahasa Persatuan atau Bahasa Pergaulan bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi, pembicaraan mengenai fusi dari semua perkumpulan pemuda tidak mendatangkan keputusan di dalam kongres. Meskipun demikian, kongres telah memperkuat cita-cita Indonesia bersatu. Setelah kongres selesai, diadakan konferensi lanjutan pada tanggal 15 Agustus 1926 yang dihadiri oleh wakil-wakil Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatranen Bond, dan Jong Batak. Koferensi mengambil suatu keputusan, supaya usaha yang telah dirintis pada Kongres Pemuda Indonesia I dilanjutkan dengan membentuk fusi pemuda atau federasi pemuda. b. Kongres Pemuda Indonesia II Perkumpulan pemuda yang memegang peranan aktif dalam Kongres Pemuda Indonesia II adalah Pemuda Indonesia dan PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia). Mereka mengambil inisiatif untuk melaksanakan kongres. Di samping itu, kongres juga dihadiri oleh Jong Java, Jong Suma¬tranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon dan Jong Batak. Pemuda Indonesia didirikan di Bandung pada tanggal 20 Pebruari 1927. Para mahasiswa yang tergabung dalam Algemene Studie Club dan PPPI mendirikan PNI pada tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Mahasiswa-mahasiswa anggota Perhimpunan Indonesia yang telah kembali dari Belanda antara lain Sartono S.H, Surname S.H, Ir. Soekarno, IT. Anwari, Iskaq S.H, Budiarto S.H, dan Wiryono S.H. Seperti halnya PNI, Pemuda Indonesia berpaham kebangsaan Indonesia yang radikal. Mereka menggelarkan semangat kebangsaan atau nasionalisme Indonesia yang berasaskan persatuan (unitaris) serta bertujuan untuk memperluas dan menyebarkan ide persatuan Indonesia di kalangan perkumpulan pemuda. Dengan demikian Pemuda Indonesia adalah perkumpulan pemuda yang bersifat nasionalis dan meninggalkan sifat-sifat kedaerahannya. PPPI adalah perkumpulan dari para mahasiswa Recht Shoolgeschar dan STOVIA. Organisasi ini didirikan pada bulan September 1926 di Jakarta oleh beberapa mahasiswa di antaranya Sugondo, Suwiryo, Suryono, dan Susalit. Anggotanya terdiri atas para mahasiswa Jakarta dan Bandung. Asas PPPI sangat dipengaruhi oleh asas Perhimpunan Indonesia di Belanda, yaitu: 1) Kebangkitan Indonesia; 2) Antitesis kolonial di antara penjajahan dan yang dijajah, nonkooperatif; 3) mendidik para anggotanya dalam memenuhi kewajibannya di masyarakat, yaitu berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan demikian asas PPPI sama dengan Pemuda Indonesia, yaitu sama-sama meninggalkan sifat kedaerahan. Oleh karena itu, peranan PPPI dan Pemuda Indonesia sangat besar dalam mempelopori cita-cita kesatuan bangsa Indonesia dalam Kongres Pemuda II. Ketua PPPI pertama adalah Prof. A. Sigit dan kemudian digantikan Sugondo Joyopuspito (juga menjadi ketua pelaksana Kongres Pemuda II). Fenyelenggaraan Kongres Pemuda II mengadakan tiga kali rapat. Rapat dilakukan di Gedung Katholik Jonglingen Bond di Waterloopein. Rapat kedua tanggal 28 Oktober 1928 pagi di Gedung Oost Java Bioscoop di Koningsplein Noord dan rapat ketiga (rapat terakhir) pada tanggal 28 Oktober 1928 malam di Gedung Indonesische Clubhuis Kramat 106 Jakarta. Dalam rapat ini disetujui usul resolusi yang dirancang oleh Muhammad Yamin, yakni Sumpah Pemuda yang berisi satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa Indonesia. Rapat dihadiri oleh sekitar 750 orang yang terdiri atas wakil-wakil perkumpulan pemuda. Kongres berhasil menetapkan ikrar atau Sumpah Pemuda yang selanjutnya menjadi landasan perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka. Oleh karena itu, pada malam penutupan kongres, untuk kali pertama diperdengarkan lagu Indonesia Raya oleh penggubahnya, W.R Supratman. la menyanyikan lagu tersebut dengan mengguna-kan biola, karena jika dinyanyikan dengan syaimya kemungkinan akan dilarang oleh polisi. Sejak saat itu lagu Indonesia Raya diakui sebagai lagu kebangsaan oleh PNI, PPKI, Indonesia Muda, dan hampir semua perkumpulan Pemuda. 3. Gabungan Politik Indonesia (GAPI) a. Petisi Sutarjo Langkah-langkah baru dalam pergerakan nasional perlu dilakukan karena terjadinya perubahan situasi. Gerakan-gerakan nonkooperatif jelas tidak mendapat jalan, dan harus ada di bawah persetujuan pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, rupanya masih ada jalan untuk meneruskan perjuangan lewat Dewan Rakyat. Partai-partai politik masih ada kesepakatan untuk melakukan aksi bersama, sehingga muncul apa yang dikenal sebagai Petisi Sutarjo pada tanggal 15 Juli 1936. Sutarjo mengajukan usul kepada pemerintah Hindia Belanda agar diadakan konferensi Kerajaan Belanda yang membahas status politik Hindia Belanda. la menginginkan kejelasan status politik Hindia Belanda dalam 10 tahun mendatang yang berupa status otonomi, meskipun masih ada dalam batas pasal 1 Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda. Hal ini dimaksudkan agar tercapai kerja sama yang mendorong rakyat untuk memajukan negerinya dengan rencana yang mantap dalam menentukan kebijakan politik, ekonomi, dan sosial. Jelas bahwa petisi ini bersifat moderat dan kooperatif melalui cara-cara yang sah dalam Dewan Rakyat. Petisi yang ditandatangani I.J. Kasimo, Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Kwo Kwat Tiong dapat dipandang sebagai upaya untuk keluar dari jalan sempit yang dilalui para nasionalis. Berbagai pihak memberikan kritik. Sebagian mengatakan bahwa penganjur petisi itu tidak ada bedanya dengan r peminta-minta yang minta dikasihani, sedangkan yang lain mengatakan petisi .itu mengurangi perjuangan otonomi. Pada umumnya pihak Belanda menolak petisi itu dan Vaderlandse Club (VC) menganggap hal itu terlalu prematur. rPartai Kristen, Partai Katolik, dan kaum Indo berpandangan bahwa petisi tersebut diajukan pada saat yang tidak tepat, karena ada masalah-masalah lain yang lebih besar dan sedang dihadapi. Meskipun dalam Dewan Rakyat lebih banyak menyetujui petisi itu, tetapi peme¬rintah menganggap masih terlalu prematur dan otonomi yang diusulkan dianggap tidak wajar. Dengan kata lain, pemerintah tidak menginginkan adanya perubahan yang di¬anggap membuka peluang yang mengancam runtuhnya bangunan kolonial. Makin majunya tuntutan para nasionalis membuktikan runtuhnya politik etis yang selalu didambakan, karena pemerintah masih memegang kuat paternalismenya, sehingga dapat diramalkan bahwa Petisi Sutarjo itu tidak akan berhasil. Para nasionalis sendiri menganggap bahwa petisi harus disebarluaskan ke tengah masyarakat. Pada tahun 1938 banyak diselenggaarakan rapat untuk mendukung petisi itu. Rapat-rapat itu merupakan suatu usaha gigih yang dilakukan para nasionalis waktu itu. b. Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan Indonesia Berparlemen 1) Latar Belakang Berdirinya GAPI Keputusan penolakan Petisi Sutarjo itu sangat mengecewakan para pemimpin nasibnal. Lebih-lebih kalau dilihat dari lamanya petisi itu meng-gantung sampai dua tahun baru diberitahukan penolakan, yang sudah barang tentu mengecewakan barisan nasional. Hal ini jelas melemahkan semangat mereka dan ada tanda-tanda terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mengata¬kan bahwa kegagalan itu karena kemauan kita kurang kuat. Namun perlu dilihat mengapa kegagalan itu tidak menimbulkan reaksi di pihak pergerakan secara jelas. Memang perlu diketahui bahwa saat itu kekuatan pemukul pergerakan sedang dalam keadaan terikat dan sudah tidak bebas lagi mengayunkan tangannya secara bebas. Mereka hanya mau menerima kenyataan dan menerima keadaan mengenai kelemahan sendiri sambil mencari jalan keluar untuk mengatasinya. Aksi secara besar-besaran tidak tampak dan PPPKI yang sudah ada ternyata tidak mampu menyusun kekuatan baru. Untuk mengatasi krisis kekuatan nasional ini, Muhammad Husni Thamrin mencari jalan keluar yang ditempuhnya melalui pembentukan organisasi baru yaitu mendirikan GAPI pada tanggal 21 Mei 1939. Organisasi ini adalah gabungan dari Parindra, Gerindo, Persatuan Minahasa, Partai Islam Indonesia, Partai Katolik Indonesia, Pasundan, dan PSII. Dari banyaknya partai yang tergabung jelas bahwa organisasi itu ingin membentuk satu kekuatan nasional baru yang lebih efektif dari pada bergerak sendiri-sendiri. Itu semua adalah dorongan dari dalam yang ingin membentuk wadah bersama guna memobilisasikan kekuatan massa, sedangkan dorongan dari luar berupa ancaman perang yang segera timbul karena Jepang sudah bergerak ke Selatan. Kerja sama ini dapat direalisasikan jika rakyat Indonesia diberi hak-hak baru. 2) Perkembangan GAPI GAPI hendak mengadakan aksi, menuntut pemerintah dengan mengadakan parlemen yang disusun dan dipilih oleh rakyat Indonesia dan kepada parlemen itulah pemerintah harus bertanggung jawab. Jika tuntutan GAPI itu diluluskan oleh pemerintah, GAPI akan mengajak seluruh rakyat untuk mengimbangi kemurahan hati pemerintah. Itulah jawaban pergerakan nasional terhadap pemerintah karena penolakan Petisi Sutarjo. Pada tanggal 24 Oktober 1939, GAPI membentuk badan Kongres Rakyat Indonesia (KRI) yang bertujuan untuk membahagiakan dan memakmurkan penduduk. Kegiatan GAPI selanjutnya dilakukan oleh KRI dengan mengadakan kongres-kongres. "Indonesia Berparlemen" tetap merupakan tujuan utama GAPI, selain memajukan masalah-masalah sosial-ekonomi. Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi, lagu Indonesia Raya menjadi lagu kebangsaan dan bendera Merah Putih menjadi bendera Indonesia. Pemerintah memberikan reaksi dingin terhadap resolusi GAPI dan sangat disayangkan karena ia tidak akan memberi perubahan sebelum perang selesai. Untuk ini semua pemerintah hanya menjawab dengan membentuk Komisi Visman. Meskipun demikian, GAPI terus menempuh demi tercapainya "Indonesia Berparlemen". Jelas bahwa GAPI benar-benar merealisasikan pikiran rakyat yang mengingin kan negara yang berdiri sendiri. Untuk lebih mengefektifkan perjuangan GAPI, KRI yang sudah ada itu diubah menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI) dalam konferensi di Yogyakarta pada tanggal 14 September 1941. MRI dianggap badan perwakilan segenap rakyat Indonesia yang akan mencapai kesentosaan dan kemuliaan berdasarkan demokrasi. Kepentingan rakyatlah yang harus didahulukan di berbagai bidang. Sebagai satu federasi, maka yang duduk dalam dewan pimpinan adalah GAPI, MIAI, dan PVPN, berturut-turut mewakili federasi organisasi politik, organisasi Islam, dan Federasi Serikat Sekerja dan Pegawai Negeri. Setiap organisasi yang menjadi wadah federasi partai politik mempunyai organ-organ pelaksanaan. Hal ini dapat dibanding-bandingkan antara PPPKI dengan kongres Indonesia Raya, GAPI dengan KRI, dan Dewan Pimpinan dengan MRI. Organisasi yang terakhir ini dipandang sebagai bentuk yang paling maju, karena di dalamnya tergabung tidak hanya organisasi politik, tetapi juga organisasi sosial dan keagamaan. Pemilihan Pengurus Dewan Pimpinan yang diadakan pada bulan November 1941 memilih Mr. Sartono sebagai ketua. Persiapan ke arah kongres MRI bulan Mei 1942 sudah dilakukan. Seperti biasanya, organisasi yang federatif tidak mampu bertahan lama, karena di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, maka satu persatu keluar dari federasi itu. Bulan Desember 1941, PSII keluar dari GAPI. Meskipun demikian organisasi ini menghadiri Kongres Rakyat Indonesia di Yogya pada tanggal 13 September 1942 yang juga didukung oleh MIAI, PVPN, Kongres Perempuan Indonesia, Isteri Indonesia, Perti, PSII, Parindra, Gerindo, Pasundan, PII, PPKI, PAI, NU, PPBB, Muhammadiyah, PMM, dan Taman Siswa yang semuanya mendukung pendirian MRI. c. Komisi Visman Satu-satunya kaum nasionalis yang dipenuhi oleh pemerintah ialah pembentukan Komisi Visman pada bulan Maret 1941. Panitia bertugas menyelidiki sampai di mana kehendak rakyat Indonesia sehubungan dengan perubahan pemerintah. Akan tetapi pelaksanaan komisi ini sangat men-jengkelkan, karena hasil yang dicapai komisi itu adalah keinginan orang-orang Indonesia yang hanya menginginkan bahwa Indonesia masih tetap dalam ikatan dengan Kerajaan Belanda. Dengan kata lain, sebenarnya Komisi Visman ini pun tidak memuaskan dan boleh dikatakan bahwa komisi ini hanya sekedar memberi angin kaum nasionalis dan tidak sungguh-sungguh ingin mengadakan perubahan ketatanegaraan bagi Indonesia. 4. Peristiwa-peristiwa penting dan Kebijakan Keras Pemerintah Kolonial terhadap Indonesia Indische Partij Menetang Perayaan Kemerdekaan Negeri Belanda. Pada tahun 1913, merupakan tahun yang ke seratus terbebasnya negeri Belanda dari kekuasaan Perancis. Pemerintah kolonial Belanda ingin merayakan kemerdekaan negeri Belanda di Indonesia. Perayaan ini dilakukan dengan memungut dana dari rakyat Indonesia. Mengetahui keinginan pemerintah kolonial Belanda seperti itu, maka tokoh-tokoh Indische Partij melakukan protes keras. Protes itu terlihat jelas pada artikel yang ditulis oleh Suwardi Suryaningrat yang berjudul "Als ik een Nederlanders Was" yang berarti "Andaikan Aku Seorang Belanda." Berdasarkan tulisan itu, maka ketiga tokoh Indische Partij, yaitu Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka diadili dan kemudian dibuang ke negeri Belanda. Penyebaran Paham Sosialis oleh ISDV. Seorang pegawai berpaham sosialis dan berkebangsaan Belanda dipekerjakan pada jawatan perkeretaapian. Tokoh sosialis itu bernama Sneevliet. la dengan cepat melihat bagaimana keadaan dan kehidupan rakyat Indonesia di bawah kekuasan pemerintah kolonial Belanda. Kehidupan rakyat penuh dengan penderitaan dan kesengsaraan, karena dipaksa untuk melakukan apapun yang menjadi kehendak pemerintah kolonial Belanda. Namun keinginan untuk memberikan bantuan terhadap rakyat Indonesia sudah tidak mungkin, karena rakyat Indonesia sudah terianjur anti terhadap orang-orang Belanda. Oleh karena itu, Sneevliet berusaha untuk dapat berhubungan dengan tokoh-tokoh bangsa Indonesia, agar dapat menyalurkan pahamnya itu kepada rakyat Indonesia. Sneevliet sangat beruntung bertemu dengan Semaun, seorang tokoh Sarekat Islam cabang Semarang. Melalui Semaun ide-ide itu berhasil disalurkan ke masyarakat, sehingga masyarakat menyadari dan mulai melakukan berbagai gerakan yang menuntut pemerintah kolonial Belanda. Akibat berkembangnya ide sosial itu, menyebabkan pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk mengembalikan Sneevliet ke negeri asalnya, Belanda. Pemberontakan PK1 tahun 1926 dan 1927. Pada tahun 1920 terjadi penggabungan ISDV dengan Sarekat Islam Merah dan kemudian membentuk partai baru yang bernama Partai Komunis Indonesia (PKI). Organisasi PKI ini bersifat non-kooperatif dan bergerak sangat radikal. PKI dengan cepat berpengaruh di kalangan rakyat Indonesia. Oleh karena itu, pada tahun 1926 dan 1927 PKI mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Kedua pemberontakan itu mengalami kegagalan. Akibatnya pemerintah kolonial Belanda mengambil tindakan tegas kepada PKI dan menyatakannya sebagai partai terlarang di wilayah Hindia Belanda. Selain itu para pemimpinnya banyak yang ditangkap serta dibuang ke luar negeri, atau ada juga yang berhasil meloloskan dirinya ke luar negeri seperti ke Rusia maupun ke negeri Belanda. Propaganda Soekarno melalui PNI. Sejak awal Partai Nasional Indonesia (PNI) terbentuk. Bung Kamo telah menyadari bahwa untuk melawan kaum imperialisme hendaknya dengan kekuatan yang seimbang dengan yang dimiliki oleh pemerintah kolonial Belanda. Perjuangannya adalah untuk mencapai Indonesia Merdeka yang berdasarkan kepada sosio-nasionalisme , dan sosio-demokrasi. Propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Soekarno melalui PNI ternyata menggoyahkan kedudukan pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu. Soekarno bersama para pemimpin PNI lainnya ditangkap dan diadili di Pengadilan Tinggi Negeri Bandung. Pada Pengadilan Negeri Bandung itu. Selanjutnya Soekarno memberikan pidato pembelaan yang berjudul "Indonesia Menggugat". Walaupun demikian, akhirnya pengadilan memutuskan bahwa Soekarno bersama para pemimpin lainnya dianggap bersalah dan kemudian dijatuhi hukuman penjara. e. Tuntutan GAPI tentang Indonesia Berparlemen Akibat kegagalan perjuangan organisasi-organisasi politik, baik yang bersifat non-kooperasi maupun kooperasi, beberapa tokoh politik menghimpun suatu kekuatan dan bersepakat untuk membentuk organisasi baru yang kemudian diberi nama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Perjuangan GAPI sebagai organisasi politik adalah menuntut Indonesia berparlemen. Hal ini dimaksudkan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara bertahap melalui parlemen. Namun tuntutan GAPI tidak mendapat tanggapan dari pemerintah pusat Kerajaan Belanda, karena khawatir daerah jajahannya lepas. Namun satu-satunya tuntutan kaum nasionalis yang dipenuhi oleh Pemerintah Kerajaan Belanda adalah pembentukan Komisi Visman pada bulan Maret 1941. Komisi ini bertugas untuk menyelidiki kehendak rakyat Indonesia sehubungan dengan terjadinya perubahan pemerintahan. Namun ternyata komisi ini tidak memuaskan kehendak rakyat maupun para pemimpin perjuangan, hingga jatuhnya kekuasaan kolonial Belanda ke tangan pasukan Jepang. Di samping hal-hal tersebut masih terdapat banyak masalah yang mengakibatkan pemerintah kolonial Belanda mengambil tindakan tegas, terhadap kaum pergerakan bangsa Indonesia